10 Alasan Mengapa Final Fantasy X adalah JRPG Legendaris!
-
Anima

Salah satu hal fantastis yang lain berhasil dicapai Square Enix dengan Final Fantasy X adalah kombinasi elemen baru dan elemen lama yang harus diakui, berada di titik seimbang yang fantastis. Bagi gamer-gamer pencinta seri Final Fantasy sebelumnya, melihat bagaimana Ifrit dan Shiva tetap kembali dengan animasi mulus berkekuatan Playstation 2 tetap menjadi pemandangan yang selalu memorable. Kemudian mereka bertemu dengan Yojimbo, summon mirip Gilgamesh yang baru, namun mengusung sistem “gacha” serangan mematikan yang nyaris serupa. Pelan tapi pasti, Anda kemudian tenggelam ke dalam beragam barisan summon baru yang bisa dikejar baik dari cerita utama ataupun sampingan. Gamer mana yang tidak merinding dan takut ketika mereka pertama kali bertemu dengan Anima? Kita bicara dengan summon raksasa yang terikat rantai kuat dan mampu membasmi musuhnya hanya lewat sinar laser dari matanya. Membayangkan apa yang bisa terjadi jika Anima berkekuatan penuh dan hidup tanpa rantai selalu jadi sumber rasa penasaran terbesar.
-
Sphere Grid

Kembali rasa apresiasi dan puja-puji untuk beragam hal baru yang disuntikkan oleh Final Fantasy X juga datang dari sistem progress tiap karakter yang kini dipresentasikan dalam bentuk Sphere Grid. Di atas kertas, optimalisasi tiap grid memang membuatnya terasa seperti progress berbasis Job yang “mengunci” tiap karakter di spesialisasinya masing-masing, dimana Auron selalu punya serangan fisik lebih kuat dan Rikku punya akselerasi ATB lebih baik. Namun seiring dengan lebih banyak grid yang bisa Anda tempuh, maka Anda akan mulai memahami bagaimana sistem ini tidak hanya soal memperkuat saja, tetapi juga “memperluas” apa yang bisa dicapai oleh seorang karakter. Kombinasi-kombinasi buff dan skill ini kemudian membuka potensi lebih besar apa yang bisa dicapai.
-
Soundtrack Memanjakan Telinga
Serahkan urusan menawarkan soundtrack fantastis ke setiap seri Final Fantasy, yang tidak pernah gagal menawarkan pengalaman audio yang keren. Hal yang sama juga bisa diantisipasi dari Final Fantasy X, yang kerennya juga bereksperimen lebih jauh. Ada nuansa religius yang begitu kuat setiap kali Anda mendengar “Hymn of the Fayth” baik ketika Anda memasuki kuil setiap Summon ataupun ketika Yuna dengan penuh duka, harus menari untuk mengirim para arwah ke wilayah selanjutnya. Namun Anda juga akan menemukan musik metal seperti “Otherworld” yang notabene merupakan musik metal yang tak lagi bisa lebih sempurna untuk menemani pertarungan Anda melawan salah satu boss terkuat di Final Fantasy X. Namun yang paling unik bagi kami? Keputusan untuk tidak menyertakan lagu berbahasa Inggris seperti “Eyes on Me” di FF VIII dan “Melodies of Life” di FF IX. Namun keputusan untuk hanya menawarkan “Suteki da Ne” dalam bahasa Jepang saja, anehnya, memperkaya atmosfer lembut, penuh romansa, dan emosional seri ini.
-
Kritik pada Sistem Keyakinan

Ada satu hal yang baru kami sadari begitu memainkan Final Fantasy X kembali ketika usia mulai menua dan pemahaman soal bahasa Inggris menguat. Bahwa di luar kisah cinta Tidus dan Yuna yang seringkali dijadikan fokus, Final Fantasy X sebenarnya memuat konten tema yang cukup berat untuk ditelusuri. Kita bicara soal game yang musuh besarnya bernama “SIN”, yang diyakini hanya bisa ditundukkan melalui sebuah ziarah besar-besaran mengelilingi dunia, yang kemudian ditutup dengan pengetahuan tabu bahwa eksistensi “SIN” sendiri merupakan konsekuensi dari eksistensi si sumber keyakinan yang dipercaya bisa membinasakannya. Semakin Anda membuka pemikiran Anda soal sistem keyakinan, semakin banyak pula yang bisa “diceritakan” Final Fantasy X pada Anda.