Review Call of Duty – Vanguard: Tak Lagi Terasa Istimewa!
Kehilangan Sentuhan Unik

Masih menggunakan engine generasi baru mereka yang pertama kali diimplementasikan di COD: Modern Warfare reboot beberapa tahun yang lalu, COD: Vanguard tetap terlihat fantastis, setidaknya di versi Playstation 5 yang kami jajal. Anda masih akan bertemu dengan skenario perang super dramatis yang akan membuat mata Anda termanjakan dan bulu kuduk Anda merinding. Dari sekadar menikmati efek cahaya yang masuk ke dalam celah-celah rumah, ragam objek dengan detail tinggi, hingga berhadapan dengan ratusan pesawat Nazi yang datang memborbardir Stalingard. Keputusan untuk menghadirkan lebih banyak cut-scene pre-rendered juga membuat aspek cerita ini semakin terasa seperti sebuah film Hollywood budget-tinggi.
Namun bagi kami pribadi, keputusan ini justru berujung “merenggut” apa yang kami cintai dari sebuah mode campaign Call of Duty. Banyak momen dimana Anda menikmati momen-momen super dramatis nan menggugah ini dengan kacamata orang pertama, menggunakan scene in-game engine, yang harus diakui lebih terasa imersif. Perpindahan habis-habisan menggunakan pre-rendered CGI sebagai cut-scene di sini justru membuat Vanguard tidak lagi unik dan istimewa. Terasa ada sesuatu yang berbeda, bahkan hilang, ketika momen-momen ini tidak hanya dipotret dalam bentuk film saja, tetapi dari perspektif orang ketiga. Activision harus menghilangkan tren ini dan mengembalikannya ke era scene first-person in-game engine seperti seri-seri lawas. Kami merindukannya.


Untuk gamer Playstation 5, salah satu daya tariknya tentu saja datang dari implementasi DualSense yang fantastis. Adaptive Trigger bekerja berbeda-beda, bergantung pada senjata yang Anda gunakan, baik dari “berat” saat Anda menekan pelatuk untuk menembak ataupun sekadar membidik dengannya. Seperti yang bisa diprediksi, Haptic Feedback juga siap menerjemahkan getaran tembak berbeda-beda itu sebagai getaran yang menjalar akurat ke tangan Anda.
Termasuk gamer yang tidak memiliki pengetahuan mendalam soal seberapa akuratnya seharusnya sebuah senjata bersuara, namun kami setidaknya menikmati dua hal – bahwa setiap dari mereka terdengar unik dan ia juga akan dipengaruhi apakah ia ditembakkan dalam ruangan atau tidak. Untuk suasana scene lebih kompetitif, Anda harus bisa mendengar lebih jelas soal jenis tembakan yang “beraksi” di sekitar Anda. Sementara untuk urusan musik? Selain theme song utama yang cukup memorable, tidak ada keunggulan lain yang bisa dibicarakan dari aspek yang satu ini. Anda tentu tidak akan mendapatkan dentuman lagu rock yang biasanya lebih identik dengan perang Vietnam misalnya.

Maka dari sisi presentasi, COD: Vanguard masih datang dengan sisi visual penuh detail yang manis di Playstation 5, lengkap dengan CGI pre-rendered yang memanjakan mata. Namun untuk urusan terakhir ini, keputusan untuk menyajikan cerita dalam bentuk film seperti ini justru merenggut apa yang kami sukai dari seri-seri COD lawas, terutama dari mode campaign – bagaimana dramatisasi selalu terjadi dari perspektif orang pertama, yang membuat segala sesuatunya terasa lebih imersif. Yang terjadi sekarang justru membuat seri ini kehilangan sesuatu yang istimewa.
Single-Player yang Manyun

Dari apa yang kami bicarakan di atas, Anda sepertinya sudah memahami bahwa kami adalah golongan gamer COD yang benar-benar tidak menyambut dengan tangan terbuka kehadiran potongan cut-scene dengan CGI pre-rendered sebagai media cerita untuk Call of Duty. Karena bagi kami, yang membuat Call of Duty istimewa adalah proses dramatisasi dimana Anda merasakan segala sesuatunya dari perspektif orang pertama. Bayangkan betapa tidak seru dan menariknya COD: Modern Warfare di masa lalu misalnya, ketika ledakan nuklir yang berbentuk jamur raksasa yang ikonik tersebut diceritakan dari perspektif orang ketiga, dalam bentuk CGI? Semoga Anda memahami apa yang kami maksud.
Karena di sepanjang permainan mode campaign COD: Vanguard, hal inilah yang kami rasakan. Bukan berarti COD: Vanguard membuang hal ini begitu saja, karena ada beberapa momen seperti serangan pertama Nazi ke Stalingard atau ketika Anda mengendarai pesawat untuk memborbardir kapal induk milik Jepang yang semuanya hadir dari perspektif orang pertama. Namun melihat proses interogasi pasukan Nazi pada karakter utama misalnya, atau melihat momen-momen yang terjadi pada saat flashback, sulit untuk mengesampingkan perasaan bahwa mereka akan terasa lebih imersif, menyentuh, menggugah, atau bahkan menakutkan jika ia menggunakan formula lawas Call of Duty: dengan perspektif orang pertama, menggunakan engine in-game, tidak kurang, tidak lebih.


Entah karena kebutuhan untuk membuat cita rasa gameplay lebih membumi atau justru masalah lebih pelik – seperti kehilangan ide kreatif misalnya, porsi campaign ini juga kehilangan momen-momen dimana Anda terasa seperti seorang pahlawan atau berperan besar dalam sebuah perang skala besar yang seharusnya. Anda masih ingat momen-momen bombastis game Call of Duty? Mengendalikan meriam pesawat dengan pasif? Mengendalikan misil dari angkasa untuk sedikit dramatisasi penghancuran markas musuh? Menikmati efek EMP dari luar angkasa? Menancapkan bendera setelah pertempuran mati-matian? COD: Vanguard tak banyak memiliki momen seperti ini. Momen yang memang “dangkal” dan “terlalu Hollywood”, tetapi menurut kami esensial.
Sledgehammer Games sebenarnya berusaha menawarkan sesuatu yang baru di mode campaign. Mengingat Anda akan menjelajahi banyak karakter yang berbeda-beda, mereka ingin memproyeksikan bahwa setiap dari mereka memang memiliki spesialisasi masing-masing. Hasilnya adalah sebuah fungsi unik yang bisa mereka akses. Sebagai contoh? Riggs yang diceritakan sebagai ahli peledak berujung bisa membawa lebih banyak jenis peledak, dengan lemparan yang kini punya indikator jelas kemana ia akan mendarat. Kingsley yang notabene merupakan pemimpin grup kini bisa memberikan komando untuk menyerang titik-titik tertentu saat bertempur. Apakah ini membuat mode campaign COD: Vanguard berujung jadi revolusioner. Sayangnya, tidak.


Ada usaha juga untuk membuat tingkat kesulitan lebih tinggi dengan membuat peluru kini lebih terbatas. Musuh tidak lagi selalu menjatuhkan jenis peluru yang Anda gunakan, dan jikapun ia, terkadang hanya beberapa butir saja. Sementara peti-peti dimana Anda bisa mengisi peluru secara penuh kini juga disediakan jarang dan biasanya muncul ketika memang pertempuran akan intens setelahnya. Oleh karena itu, Anda mau tidak mau akan bergonta-ganti senjata yang sudah terasa nyaman di tangan untuk mengakomodasi ini. Apalagi tentara Nazi yang berusaha menghabisi Anda datang bak air bah di game ini, yang bisa berjumlah puluhan hanya di satu area yang harus Anda bersihkan saja.
Jika ada satu hal yang kami apresiasi dari mode campaign ini adalah keberanian mereka untuk lebih terbuka membicarakan ideologi Nazi dan membenturkannya dengan apa yang dipercayai oleh pasukan Allies yang jadi karakter utama Anda, terutama Kingsley. Seperti yang kita tahu, pondasi kepercayaan Nazi adalah superioritas bangsa Arya yang notabene dicirikan oleh manusia berambut pirang dan bermata biru. Hal ini membuat semua ras di luar Arya dilihat inferior dan karenanya lebih rendah daripada manusia. Dengan sosok Kingsley yang notabene merupakan pria berkulit hitam, pertentangan ini cukup lugas dilemparkan di sisi cerita. Menarik melihat kebingungan pasukan Nazi bagaimana pasukan elite yang datang dari seluruh dunia mau dipimpin oleh pria kulit hitam, yang mereka lihat inferior.