Review Ghostwire – Tokyo: Berburu Setan Jepang!
Open-World “Tua” Terbantu Side Mission

Menyebut Ghostwire: Tokyo sebagai game open-world memang sedikit kontroversial. Mengapa? Karena tidak seperti game ala GTA ataupun Elden Ring yang langsung membuka kepada Anda sebuah dunia yang cukup besar untuk dieksplorasi, Ghostwire: Tokyo mengusung pendekatan yang lebih linear. Ia akan membuka Tokyo kepada Anda perlahan tapi pasti lewat progress cerita utama. Ia akan mengunci sebagian besar area di awal lewat mekanik kabut yang akan menelan HP Anda dengan cukup cepat dan membunuh Anda jika Anda memang bersikeras melewatinya. Ini membuat Anda tidak akan melihat sebagian besar dunia yang ia tawarkan sampai ketika Anda mulai mendekati akhir cerita.
Bagian yang paling menyedihkan dari desain ini adalah fakta bahwa Tango Gameworks memutuskan untuk mengusung gaya game open-world tua ala Ubisoft dimana aktivitas Anda akan sangat ditentukan oleh ikon yang Anda temukan di peta. Sekuens yang Anda lakukan akan selalu sama, dimana Anda harus mencari Torii Gate terdekat terlebih dahulu untuk “dibersihkan”. Torii Gate berperan bak menara di game Assassin’s Creed lawas, dimana ia akan membuka terang benderang area yang sebelumnya tertutup oleh kabut menyakitkan tersebut, sembari membuka ikon soal aktivitas-aktivitas penting seperti apa yang bisa Anda tempuh. Ikon ini biasanya bisa berujung menjadi lokasi toko, beragam Yokai yang bisa Anda kejar, dan tentu saja misi-misi sampingan yang akan ikut terbuka dan bisa Anda selesaikan. Pada akhirnya, motivasi Anda bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain akan ditentukan ikon-ikon ini, yang harus diakui terkesan kuno ketika game seperti Breath of the Wild dan Elden Ring sudah memberikan bukti sebuah pendekatan eksplorasi lebih menarik.


Apalagi misi-misi mencari Yokai yang Anda temui juga bisa dibilang tak banyak menantang. Motivasi mengejar mereka memang jelas, untuk mendapatkan item bernama Magatama yang akan menjadi “kunci” untuk mengakses varian skill lebih kuat di Pohon Skill yang ada, yang memang butuh beberapa. Ghostwire: Tokyo menawarkan beberapa jenis Yokai berbeda bergantung wilayah, namun tidak banyak dari mereka yang tampil menarik atau menantang otak Anda untuk bekerja. Ada Yokai yang hanya butuh Anda mencari mangkok biru di dalam rumah dan menaruh kue senbei di atasnya, ada yang meminta Anda untuk sekadar mengendap di belakang mereka, ada yang meminta Anda untuk mengejar mereka hingga mereka berhenti, dan yang meminta Anda menghabisi banyak Visitors sebelum Anda bisa mengakses mereka. Satu-satunya mekanik Yokai cukup unik hanyalah Kappa dimana Anda harus menaruh mentimun di tempat spesifik, menghindarinya saat ia curiga dan mencari posisi Anda, dan menangkapnya pada saat ia lengah menikmati mentimun tadi.
Untungnya, konsep open-world Ghostwire: Tokyo ini terbantu dengan misi sampingan yang harus diakui memiliki kualitas di atas rata-rata. Dengan sebagian besar misi sampingan ini berujung dipicu oleh arwah penasaran yang selalu punya masalah spesifik, ia selalu datang dengan tema unik yang berbeda satu sama lain, membuatnya tidak berujung membosankan. Bahkan, kami jatuh cinta dengan beberapa kisah yang ia sajikan. Ada kisah yang mengitari soal arwah penasaran yang terperangkap di sebuah rumah hoarder yang mengisinya dengan begitu banyak sampah. Ada pula kisah arwah penasaran seorang streamer yang berujung mengundang iblis sesungguhnya setelah berpura-pura punya kemampuan spiritual. Yang paling jadi favorit kami? Kisah seorang pria yang mengaku memiliki anjing berkepala manusia yang bisa bicara dan ia butuh untuk bertemu dengan anjing ini untuk bisa melanjutkan perjalanannya ke dunia lain. Usut punya usut, anjing ini ternyata tidak pernah eksis. “Anjing berkepala manusia” ini ternyata adalah adiknya sendiri yang notabene merupakan manusia sungguhan, hanya saja diperlakukan oleh sang pria layaknya seekor anjing. Kisah-kisah sampingan ini berhasil membuat Ghostwire: Tokyo menjadi jauh lebih berwarna.


Namun satu hal yang tidak terhindarkan dari konsep open-world berbasis ikon yang notabene “tua” ini adalah sensasi repetitif yang tidak terhindarkan. Mengapa? Karena mau tidak mau, Anda akan termovitasi akan bergerak dari satu ikon ke ikon lain (selain misi sampingan) yang akan berujung menjadi aktivitas-aktivitas yang sudah pernah Anda lakukan sebelumnya. Apalagi mengingat varian The Visitors tak terlalu banyak, Anda akan berhadapan dengan banyak musuh yang sama dan semakin mudah seiring dengan progress yang ada. Apalagi ada beberapa desain yang menurut kami menjadi blunder dan membuat Ghostwire: Tokyo terlihat “bermasalah”.
Blunder Membosankan

Sebagai gamer yang sudah makan asam garam game open-world tua dengan aktivitas repetitif, apa yang didorong oleh Ghostwire: Tokyo dengan desain peta dan ikon yang ada bukanlah sesuatu yang kami lihat sebagai masalah besar. Mengingat menggunakan serangan berbasis elemen masih tetap seru di banyak skenario pertempuran dan pemandangan Tokyo yang tak pernah gagal memanjakan mata, rasa bosan yang bisa ia hasilkan bisa tertahankan. Walaupun demikian, harus diakui, ada setidaknya dua buah desain yang menurut kami berujung jadi blunder besar yang kian mencederai pendekatan tua ini. Yang paling signifikan? Absorb Spirits.
Selama proses eksplorasi, Anda akan menemukan beragam arwah melayang berkelompok yang tersebar di banyak lokasi dengan ketinggian berbeda-beda. Arwah-arwah ini bernama Spirits dan berujung bisa Anda serap menggunakan sebuah item bernama Katashiro yang juga bisa Anda perbanyak dengan membelinya di Toko. Setiap Spirits yang Anda serap akan menuntut 1 buah Katashiro untuk dihuni. Ide akhirnya? Anda kemudian bisa mendatangi booth telepon umum terdekat untuk mengosongkan Katashiro ini untuk mendapatkan sejumlah uang untuk dibelanjakan dan tentu saja, EXP untuk menaikkan level. Dengan reward seperti ini, jelas bahwa Spirits-Spirits ini adalah elemen penting di Ghoswtire: Tokyo.


Masalah terbesarnya? Tango Gameworks membuat aksi serap Spirits ini menjadi aktivitas yang super menjemukan, apalagi di awal-awal permainan. Ketika Anda pertama kali memiliki Katashiro dan menyerap Spirits yang Anda temui, ia bisa berujung membutuhkan waktu sekitar 3-4 detik sendiri untuk menyerapnya hingga selesai. Sekarang bayangkan jika Spirits ini berjumlah super banyak dan tersebar di keseluruhan peta. Ini berarti Anda harus berhenti terlebih dahulu untuk apapun aktivitas yang Anda lakukan, menempuh animasi serap yang panjang, melakukannya lagi di lokasi yang lain, berulang, berulang, berulang, dan berulang. Mengingat posisi mereka super penting untuk kenaikan level dan uang, Anda “harus” melakukannya. Melewatkan setiap dari mereka bisa berpotensi jadi mimpi buruk di masa depan.
Berita lebih buruknya lagi? Nilai Spirits yang Anda serap dari setiap arwah gentayangan ini juga berbeda-beda nilainya tanpa ada clue dari sisi visual soal total yang mereka tawarkan. Ini membuat Anda sulit untuk membedakan kira-kira Spirits mana yang bernilai untuk Anda kejar dan prioritaskan dan mana yang tak pantas untuk mengisi ruang Katashiro yang Anda miliki. Ini berarti Anda mau tidak mau tergerak untuk menyerap Spirits manapun yang Anda temui dengan harapan banyak dari mereka yang menawarkan jumlah EXP cukup signifikan. Tak cukup buruk? Anda juga akan menemukan beberapa Spirits yang berujung terkunci kutukan. Ini berarti ada ekstra tugas lagi – menghilangkan kutukan tersebut dengan aksi putar analog yang berarti ekstra animasi tambahan, menyerap mereka yang berarti animasi lagi, dan kemudian baru mengetahui total yang Anda dapatkan. Ingat karena ini penting, Anda akan melakukannya berulang, berulang, dan berulang. Untungnya, bersama dengan pohon skill yang terbuka, Anda bisa mempercepat animasi ini menjadi jauh lebih singkat.
Situasi ini benar-benar mengacaukan pace permainan, apalagi melewati animasi yang harus terjadi di setiap kali proses hisap. Akan jauh lebih menarik dan bersahabat jika Tango Gameworks tidak membuat proses ini terasa begitu menjemukan. Mereka bisa menempatkan jumlah Spirits yang lebih terbatas, berjumlah besar, dan terikat pada misi sampingan misalnya, alih-alih menyebarnya bak kacang goreng yang tercecer di tanah Tokyo seperti desain saat ini. Atau mereka bisa membuat proses hisap menjadi otomatis setiap kali Anda melewati setiap dari mereka alih-alih memaksa Anda untuk menekan tombol untuk menghisap mereka secara manual atau harus membersihkan mereka dari kutukan sebelumnya. Perjalanan Ghostwire: Tokyo akan jauh lebih bisa dinikmati jika Anda tidak harus melakukan hal ini, sungguh.
Di luar aksi hisap Spirits ini, ada satu aktivitas lain yang juga kami benci dari Ghostwire: Tokyo ini. Bahwa di beberapa skenario cerita, setidaknya ada dua kali terjadi di playthrough kami, Akito akan terpisah dari KK. Ini berarti selama proses tersebut, sebelum Anda berdua bertemu dan bergabung kembali, Anda sama sekali tidak bisa menggunakan kemampuan magis Anda. Yang Anda miliki hanyalah busur panah dengan jumlah anak panah terbatas untuk menghabisi Visitors yang mungkin menghalangi. Situasi ini akan menurunkan begitu signifikan kemampuan Anda untuk melawan balik, apalagi ketika Visitors datang dengan kombinasi varian yang mematikan.

Tango Gameworks mungkin merasa bahwa sedikit variasi ini akan membuat Ghoswire: Tokyo berujung tidak monoton. Namun yang terjadi justru sebaliknya, memicu rasa frustrasi yang membuat kami membenci setiap detik ketika skenario seperti ini terjadi. Alih-alih menikmati proses yang ada, kami lebih sering berujung lari secepat mungkin ke lokasi yang diminta untuk mendorong cerita utama yang ada agar bisa bergabung dengan KK secepatnya. Ini berarti mengabaikan semua Visitors dan tak lagi peduli dengan ragam Collectibles yang mungkin terlewat. Ini juga mungkin menjadi desain untuk mendorong Anda menggunakan busur panah yang di skenario biasa, nyaris tidak pernah Anda sentuh. Ini juga termasuk para Talisman yang notabene berfungsi sebagai item dengan efek debuff seperti stun misalnya, yang bisa Anda lemparkan ke tanah saat berhadapan dengan para Visitors. Kami nyaris tak pernah menggunakannya.