10 Kenyataan Pahit yang Harus Diterima Gamer!
-
Total Waktu Main Game Sebenarnya Bisa Dialihkan Untuk Skill yang Lebih Bermakna

Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk bermain game setiap harinya? Berapa banyak jam yang sudah habiskan untuk satu game spesifik, terutama multiplayer kompetitif? Pil pahit yang harus kita telan adalah fakta bahwa jika waktu yang sama dialihkan untuk proses pembelajaran skill yang jauh lebih bermakna, kita mungkin bisa mendapatkan sesuatu yang jauh lebih produktif. Sebagai contoh? Saya pribadi. Dengan menghabiskan waktu sudah lebih dari 6.600 jam di DOTA 2 dengan tidak ada tanda-tanda skill yang meningkat (dan malahan menurun), sulit untuk tidak membayangkan jika waktu yang sama dialihkan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Bayangkan 6.600 jam untuk belajar bahasa Jepang? 6.600 jam untuk kursus memasak kuliner lokal? Atau setengah dari itu saja? Dan kita baru bicara soal satu video game saja.
-
Keputusan Kreatif Developer Tidak Mempengaruhi Hidup
Sensitif dan pemarah sebenarnya adalah kesan yang tepat untuk melihat perilaku gamer sejak situs sosial media aktif. Salah satu yang terburuk adalah ketika keputusan kreatif yang diambil oleh developer memancing reaksi keras dan bahkan yang lebih gila, berujung pada ancaman pembunuhan ke anggota tim misalnya. Padahal jika dipikirkan sehat dan matang, keputusan-keputusan ini sebenarnya tidak mempengaruhi kualitas hidup kita sama sekali. Apakah hidup Anda menjadi lebih buruk karena karakter novel yang diadaptasikan menjadi video game berubah dari kulit putih ke kulit hitam? Tidak. Apakah hidup Anda jadi sampah ketika developer memutuskan untuk memotong scene kontroversial tertentu? Tidak karena hidup Anda akan berjalan semestinya. Padahal yang perlu dilakukan hanya satu – tidak usah membeli game yang tidak cocok keputusan kreatifnya dengan Anda. Selesai.
-
Game Klasik Tidak Lantas Bagus Hanya Karena Nostalgia

Eksis gamer-gamer “berumur” di luar sana yang selalu mengagung-agungkan game klasik yang sempat mereka cicipi di kala muda, yang kemudian menutupi perspektif yang lebih berimbang saat berhadapan dengan judul baru. Sebagai contoh? Anda tidak akan sulit menemukan gamer-gamer “tua” yang mengagungkan game lama seolah-olah ia superior di beragam aspek yang ada. Padahal jika hendak dikomparasi secara obyektif, jelas bahwa game baru akan datang dengan tidak hanya grafis yang lebih baik saja, tetapi juga dukungan fitur dan gimmick yang lebih mumpuni, seperti kemampuan untuk menyimpan progress permainan di mana saja. Banyak gamer “tua” yang sepertinya lupa bahwa bias mereka mengemuka karena nostalgia yang tidak selalu lahir karena video game itu sendiri. Terkadang video game tua menjadi begitu fenomenal dan memorable karena sang gamer sendiri yang memainkannya dalam kondisi yang tanpa beban, bahagia, dan tidak harus terbebani oleh ragam masalah orang dewasa. Yang gamer tua lihat dan pandang bagus dari game tua bisa jadi bukan karena gamenya sendiri, tetapi karena atmosfer dan situasi tanpa beban saat mencicipinya dahulu.
-
Usia Bertambah = Waktu Gaming Menurun

Video game adalah sebuah hobi yang mungkin akan kita nikmati hingga akhir usia kita. Ditambah dengan fakta bahwa beberapa franchise yang sudah menemani kita sejak kecil seperti Kingdom Hearts bahkan belum menemukan konklusi-nya, ini seperti sebuah fakta yang tak terbantahkan. Namun pada kenyataannya, seiring dengan bertambahnya usia, salah satu konsekuensi yang tidak terelakkan adalah waktu gaming yang menurun ataupun fokus pada judul spesifik saja. Waktu gaming menurun bisa terjadi karena tanggung jawab ekstra yang harus ditempuh sebagai manusia dewasa atau karena ada lebih banyak hal penting yang butuh perhatian daripada gaming. Salah satu alasan ekstra lainnya? Tubuh yang menua juga berarti energi yang menurun, dimana Anda akan ada di posisi lebih tertarik untuk beristirahat daripada mencicipi game baru apapun yang kemarin Anda beli.











