Review Troublemaker: Hasrat Tinggi tapi Impotensi!

Reading time:
April 6, 2023

2D > 3D

Troublemaker jagatplay 49
2D > 3D adalah sebuah kenyataan di Troublemaker.

“2D lebih baik dari 3D”, lelucon ini sepertinya akan seringkali Anda dengar di komunitas-komunitas anime apalagi jika pembicaraan mulai mengarah pada sosok waifu yang ada. Bahwa ada keyakinan sekaligus bercandaan bahwa waifu 2D yang notabene anime akan lebih setia dan bisa diandalkan dari waifu 3D, alias perempuan di dunia nyata. Siapa yang mengira bahwa di satu titik di sejarah review kami , bahwa “lelucon” yang satu ini ternyata bisa diaplikasikan untuk sebuah video game. Benar sekali, dalam hal ini – Troublemaker.

Gameplay Troublemaker memang dibangun menjadi game action 3D berbasis Unreal, namun penyampaian ceritanya sebagian besar disajikan dalam bentuk artwork 2D memesona yang kualitasnya harus diakui, bahkan layak untuk dirilis terpisah sebagai komik lokal sekalipun. Troublemaker tentu saja bukan game pertama yang memanfaakan dua gaya berbeda ini untuk membangun pengalaman bermain yang ada. Permasalahannya? Game ini gagal mentranslasikan betapa kerennya artwork-artwork dua dimensi penyaji cerita ini ke dalam model tiga dimensi gameplay-nya yang notabene menjadi fokus.

Troublemaker jagatplay 29
Budi dalam format 2D.
Troublemaker jagatplay 3
Budi dalam format 3D. 🙁

Tidak perlu jauh-jauh memandang, hal ini sudah terlihat jelas dari kegagalan untuk mentranslasikan penampakan Budi dari versi 2D ke dalam versi 3D-nya yang terlihat seperti karakter generik dengan desain yang menjemukan. Dengan karakter utama yang bahkan mengalami masalah ini, Anda sepertinya bisa memprediksi bahwa kualitas yang sama juga bisa Anda antisipasi dari semua karakter pendukung yang ada. Disparitas kualitas antara kedua visualisasi ini benar-benar signifikan, hingga cukup untuk membuat Anda mengernyitkan dahi soal keputusan kreatif yang diambil. Karena saat ini jelas bahwa ada sejenis impotensi terjadi untuk menerjemahkan desain yang ada ke dalam gameplay, termasuk dramatisasi yang juga terasa lebih baik di sisi artwork ini.

Memerhatikan model tiga dimensi karakter-karakter yang Anda temui juga akan menyisakan lebih banyak pertanyaan soal apa yang terjadi di proses pengembangan. Di luar masalah desain generik yang terjadi, Anda juga bisa melihat pengaplikasian hal-hal absurd yang membuat banyak karakter ini tak terlihat normal. Sebagai contoh? Sophia yang notabene jadi pasangan Budi. Menggunakan pakaian SMA dengan proporsi dada yang besar, model karakternya tidak terlihat seperti tengah mengenakan pakaian. “Ketatnya” pakaian yang ia kenakan hingga memperlihatkan kontur tubuhnya dengan jelas justru membuatnya terlihat tengah menggunakan cat tubuh alih-alih baju. Keanehan animasi dan model karakter siswa lain juga tak sulit Anda temukan di beragam sudut.

Troublemaker jagatplay 18
Alih-alih kain, Sophia justru terlihat seperti menggunakan body paint ke sekolah. Ukuran lambang OSIS-nya ditentukan oleh ukuran dada.
Troublemaker jagatplay 27
Ini bukan Silent Hill!

Sisi presentasi visual lainnya yang pantas untuk dikritik juga datang dari ragam efek visual yang terjadi di beberapa chapter, terutama soal efek hujan dan kabut. Ada banyak chapter ketika situasi ini terjadi, apa yang Anda lihat di layar benar-benar tidak jelas. Alih-alih seperti kabut atau hujan, Anda seperti tengah berlari atau bertarung di dalam akuarium dengan air keruh yang tiba-tiba munculnya. Untungnya untuk urusan visual, ia setidaknya memuat satu hal yang pantas kami puji – animasi serangan pemungkas untuk musuh sekarat yang hadir cukup halus dengan detail yang pantas untuk diacungi jempol.

Dari sisi suara? Untungnya, Troublemaker setidaknya memiliki soundtrack yang cukup cocok di beragam situasi yang ada, walaupun salah satunya harus diakui terlalu menyerupai apa yang ditawarkan Yakuza. Sementara sisa aspek audio yang lain? Mengecewakan. Terlepas dari sedikit rasa apresiasi bahwa mereka tetap berani menyertakan Voice Acting di sini, versi bahasa Indonesia-nya harus diakui tidak memadai. Bukan hanya intonasi karakter yang terkadang terlalu datar di situasi emosional atau justru kelewat emosional di situasi yang datar, Anda juga bisa menemukan kualitas volume suara yang tidak konsisten di sepanjang permainan.

Maka dari sisi presentasi, Troublemaker memang tidak bisa dibilang memukau. Selain animasi gerakan pemungkas, artwork 2D yang ia bawa, dan beberapa bagian soundtrack yang ia tawarkan, hampir semua aspek elemen presentasi yang lain harus diakui berada jauh di bawah harapan.

Cringe-fest

Troublemaker jagatplay 10
Bahkan Ibu Budi tidak mampu menahan cringe-nya konten Troublemaker.

Ada satu perasaan yang secara unik muncul di sesi playthrough kami bersama Troublemaker yang berhasil kami selesaikan dalam waktu di bawah 5 jam. Sesuatu yang jarang kami temukan di game indie ataupun AAA lainnya. Benar sekali, sensasi Cringe yang benar-benar konsisten dari awal hingga akhir permainan, terutama karena dua hal – penceritaan dan penggunaan kata-kata kasar yang ia bawa.

Bersama dengan waktu bermain, kami sendiri sudah mengabaikan betapa tidak rasionalnya pondasi cerita Troublemaker soal dana BOS dan kebutuhan untuk menggelar sebuah turnamen tarung tangan kosong di ekosistem sekolah yang notabene berisikan lebih banyak orang dewasa dan terpelajar yang seharusnya mampu memikirkan solusi yang jauh lebih baik. Abaikan juga bagaimana turnamen ini ternyata “bocor” di lapangan sekolah dimana pertarungan melawan kelompok kelas lain juga sering terjadi, yang notabene bukan bagian dari turnamen resmi, namun tidak juga menuai konsekuensi sama sekali. Abaikan juga bahwa untuk sebuah game dengan tema sekolah, Anda sama sekali tidak banyak disuguhi proses belajar-mengajar dimana aktivitas Anda hanya diisi dengan bertarung dan bertarung. Abaikan semua itu, dan percaya atau tidak, Troublemaker masih akan membuat Anda merasa cringe setiap saat.

Salah satu sumber rasa cringe tersebut ada pada masalah humor yang terasa tidak tepat sasaran. Karena harus diakui, alih-alih tertawa, ada banyak “humor” atau sesuatu yang berusaha dijadikan sebagai shock moment justru terasa sebegitu absurd dan dipaksakannya, hingga kami merasa bahwa humor seperti ini sepertinya hanya ditertawakan kanak-kanak saja. Sebagai contoh? Ada salah satu karakter petarung dari kelas lain yang hobi dan gemar membicarakan soal ukuran tinja-nya setelah ia buang air besar. Sang tim developer mungkin memikirkan bahwa dialog seperti ini absurd dan lucu, namun sebegitu tidak pantas dan cocoknya pembicaraan ini masuk, kami justru mengeluarkan reaksi “Apaan sih..” yang lebih sering terjadi. Berita buruknya lagi? Anda juga akan menemukan sebuah foto dimana Budi, Zaenal, Boby, dan Rani berkumpul di toilet dan menggelar swafoto bersama dengan tinja dimaksud. Lucu? Tidak. Cringe? Iya. Dan situasi seperti ini juga mengemuka beberapa kali.

Troublemaker jagatplay 40
TINJA? HAHAHAHAHA. LUCU BANGET DAH!
Troublemaker jagatplay 59
Game ini mengasumsikan bahwa semua gamer sudah memainkan game yang mereka referensikan.

Sumber cringe yang lain datang dari referensi-referensi yang dibawa sang tim developer ke game ini. Anda akan menemukan situasi dimana karakter-karakter berbicara soal “Night City” dari Cyberpunk 2077, kalimat ikonik The Merchant dari Resident Evil 4, sampai pose ikonik Jojo yang diulang di dua kesempatan berbeda. Referensi seperti ini mengasumsikan bahwa semua player Troublemaker familiar dengan game-game ini seperti halnya si tim developer. Tapi bayangkan betapa tidak nyambungnya Anda memeriksa cerita yang ada ketika Anda yang belum pernah memainkan Cyberpunk 2077 tiba-tiba menemukan referensi soal Night City di sini? Dan harus diakui, Troublemaker menyuntikkan banyak referensi seperti ini di sana-sini, hingga di titik tak sulit menemukan nama Youtuber Indonesia nan familiar sebagai nama NPC yang Anda lawan. Untuk urusan terakhir ini, sekadar penghormatan? Atau strategi atas nama berharap si Youtuber membantu mempromosikan game mereka karena nama serupa dihadirkan? Apapun alasannya, tetap cringe.

Kemudian Anda bertemu dengan dialog yang diisi dengan kata-kata kasar yang cukup eksplisit hampir di semua jenis percakapan. Walaupun di beberapa situasi kata-kata kasar seperti ini seharusnya mengamplifikasi emosi yang hendak dikeluarkanoleh para aktor /aktris pengisi suara, namun ia tidak seharusnya berlebihan. Begitu banyaknya kata-kata kasar yang disuntikkan Troublemaker untuk dialog yang ada, hingga ia berujung “bocor” dan digunakan di situasi-situasi dimana kata-kata kasar yang dipakai justru tidak terasa sesuai. Kata-kata kasar ini justru mencabut atmosfer percakapan yang seharusnya bisa disajikan lebih tepat. Berita buruknya? Ada kesan bahwa sang tim developer menentukan level “KEREN” karakter berdasarkan frekuensi kata-kata kasar yang ia ucapkan alih-alih menuliskan karakterisasi yang lebih baik. Ketidakcocokan timing penggunaan juga membuat banyak situasi dalam permainan terasa canggung, alias cringe.

Dan pada akhirnya, sumber cringe-fest terakhir juga datang dari gaya penulisan cerita yang harus diakui di bawah standar, dari ketidaklengkapan hingga pacing. Hubungan romansa antara Budi dan Sophie misalnya, tiba-tiba saja tumbuh lewat hanya 2-3 kali cut-scene terpisah yang sama sekali tidak memberikan pondasi sebelumnya bahwa ada romansa di sana. Atau bagaimana mereka menuliskan bahwa salah satu karakter boss sering telat, dan karenanya dalam proses menunggu, Anda harus melawan kroco-kroco yang sama setidaknya 2-3 kali yang tentu saja membingungkan.

Namun dari semua penulisan tersebut, ia juga terkadang mengungkapkan hal sensitif yang kembali terasa tidak tepat dan tidak berada di tempatnya. Isu-isu yang sebelumnya tidak pernah dibicarakan atau diangkat tersebut secara tiba-tiba dimunculkan di ragam timing untuk memicu sedikit sensitivitas, namun justru kembali membuat kami mengernyitkan dahi. Ada dua situasi dimana kami merasa demikian. Pertama? Ketika Budi lengah dan kalah bertarung melawan mantan Sophie, ketika sang mantan mengaku bahwa ia sudah “memakai” Sophie sebelumnya, yang kemudian ia tarik kembali sebagai kebohongan. Ini adalah situasi yang absurd. Ini berbicara soal isu keperawanan yang tak pernah diangkat oleh Budi ataupun Sophie sebelumnya dan tak mereka bicarakan soal seberapa pentingnya hal tersebut dalam hubungan. Lalu tanpa alasan yang tidak jelas, keperawanan ini diangkat sebagai “senjata” untuk melawan Budi, yang terlepas dari kata-kata bijaknya bagaimana soal hal tersebut tak penting, tetap tunduk kalah dan lengah, yang jelas menunjukkan ia tetap terpengaruh. Parahnya lagi? Soal keperawanan ini kemudian tak lagi dibahas setelah scene, yang hadir tanpa konklusi apakah ini adalah isu yang pantas dibicarakan atau tidak.

Troublemaker jagatplay 48
Tiba-tiba masalah keperawanan muncul, tenggelam, lalu hilang tanpa konklusi.
Troublemaker jagatplay 39
Salah satu situasi juga tiba-tiba berbicara soal agama.

Kedua? Ketika sesi mendekati ending dimana anak-anak Parakacuk kembali berkumpul di tengah bulan Ramadhan. Tanpa alasan yang jelas, tanpa pernah ada hint sebelumnya, dan tanpa ada kontribusi signifikan apapun dalam cerita, Anda tiba-tiba mendapatkan informasi bahwa 2 dari 4 anggota tim Parakacuk – yang notabene adalah Rani dan Zaenal di sini, adalah orang Kristen. Yang kemudian diikuti dengan lelucon keagamaan bersama Boby yang soal ajak-mengajak pindah agama. Kami cukup bingung mengapa informasi soal agama ini tiba-tiba mengemuka di ending. Ada banyak cara untuk memperlihakan keakraban soal pertemanan tanpa harus bercanda soal isu agama, yang justru membuat kami lebih curiga bahwa lelucon ini masuk karena semata-mata si tim developer menikmati lelucon komika tertentu di Indonesia dan memutuskan untuk menyuntikkannya ke dalam cerita, terlepas dari cocok atau tidaknya. Lagi-lagi, masalah referensi yang terlalu banyak.

Maka semua kombinasi dari keanehan gaya penceritaan dan referensi ini menghasilkan sebuah pengalaman penuh rasa cringe yang kami rasakan dari awal hingga akhir permainan Troublemaker. Begitu banyaknya penggunaan ekspresi “UwU” di banyak kesempatan juga tidak banyak membantu situasi ini.

Pages: 1 2 3 4
Load Comments

PC Games

September 8, 2023 - 0

Review HoneyCome: Kelewat Nakal, Kelewat Mahal!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh HoneyCome? Mengapa kami menyebutnya sebagai…
July 12, 2023 - 0

Review DOTA 2 (Edisi 10 Tahun): Masih Ketagihan!

Bagaimana sensasi memainkan DOTA 2 di usianya yang kini menginjak…
April 6, 2023 - 0

Review Troublemaker: Hasrat Tinggi tapi Impotensi!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Troublemaker di versi akhir? Apa…
January 20, 2023 - 0

Review A Space for the Unbound: Standar Tertinggi Game Indonesia Saat Ini!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh A Space for the Unbound?…

PlayStation

September 20, 2023 - 0

Review The Crew Motorfest: Aloha, Mari Balap Bahagia!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh The Crew Motorfest? Mengapa kami…
September 13, 2023 - 0

Review Baldur’s Gate 3: Emang Boleh RPG Sekeren dan Seadiktif Ini?

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Baldur’s Gate 3? Mengapa kami…
September 8, 2023 - 0

Review Sea of Stars: Paket Lengkap Rasa Klasik!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Sea of Stars? Mengapa kami…
August 30, 2023 - 0

Review Armored Core VI – Fires of Rubicon: Api itu Membara Terang Kembali!

Apa yang sebenarnya ditawar kan oleh Armored Core VI: Fires…

Nintendo

July 28, 2023 - 0

Review Legend of Zelda – Tears of the Kingdom: Tak Sesempurna yang Dibicarakan!

Mengapa kami menyebutnya sebagai game yang tak sesempurna yang dibicarakan…
May 19, 2023 - 0

Preview Legend of Zelda – Tears of the Kingdom: Kian Menggila dengan Logika!

Apa yang ditawarkan oleh Legend of Zelda: Tears of the…
November 2, 2022 - 0

Review Bayonetta 3: Tak Cukup Satu Tante!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Bayonetta 3? Mengapa kami menyebutnya…
September 21, 2022 - 0

Review Xenoblade Chronicles 3: Salah Satu JRPG Terbaik Sepanjang Masa!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Xenoblade Chronicles 3? Mengapa kami…