Review Troublemaker: Hasrat Tinggi tapi Impotensi!
Bukan Bully Indonesia, Bukan Yakuza Indonesia

Setelah sempat di-hype dengan begitu banyakberita bagaimana Parakacuk alias Troublemaker akan menjadi seri Bully atau Yakuza versi Indonesia, yang juga tidak banyak disanggah oleh tim developer, game ini berujung bukanlah keduanya. Karena pada akhirnya, alih-alih sebuah game open-world atau semi open-world, Troublemaker adalah sebuah game action yang super linear.
Sebuah game action yang juga pada pondasinya, berada di kualitas yang terhitung di bawah standar. Dipersenjatai dengan serangan lemah dan serangan kuat yang bisa dikombinasikan dengan satu ekstra tombol untuk block atau parry di timing yang tepat, pengalaman action yang ditawarkan oleh Troublemaker sayangnya berujung repetitif. Alasannya? Karena terlepas dari begitu banyaknya lawan yang Anda hadapi, Anda akan menggunakan satu strategi yang sama berulang-ulang untuk mengatasi mereka.
Kami tidak pernah sekalipun menggunakan serangan lemah milik Budi. Setiap kali melakukan parry atau saat menyerang secara aktif, kami mengandalkan kombinasi serangan kuat Budi yang biasanya berujung pada tendangan memutar yang akan membuat musuh tersungkur. Di situasi ini, Anda bisa mendekati mereka dan menginjak mereka beberapa kali untuk ekstra damage. Strategi inilah yang kami gunakan dari awal hingga akhir permainan, baik saat melawan boss perorangan ataupun kroco-kroco di jumlah yang banyak sekalipun. Begitu energi untuk serangan spesial penuh, Anda bisa mengeksekusinya secepat yang Anda bisa. Proses ini akan terus berulang-ulang hingga Anda mengalahkan game ini. Yang membuatnya berbeda mungkin hanya karena kelalaian atau ketidaksabaran yang akan membuat Anda berujung mengkonsumsi item untuk memulihkan HP atau membuat damage serangan Anda berujung ganda untuk mempercepat pertarungan yang bisa terasa bertele-tele karena situasi repetisi seperti ini.


Maka sisa perjalanan aksi Anda mengakar pada usaha memperkuat si Budi yang bisa diaplikasikan lewat aksi beli di karakter bernama Richard yang berperan sebagai The Merchant di sini. Uang sebagai resource akan bisa Anda dapatkan dari mengalahkan musuh dalam cerita, yang Anda temui selama proses eksplorasi, ataupun lewat beragam mini-game yang ada. Anda bisa membuat serangan Budi lebih mematikan, energi lebih cepat pulih, atau membeli varian serangan spesial dengan animasi yang fun untuk beragam efek. Sementara untuk si mini-game? Hadir sederhana dengan iming-iming reward resource berupa uang yang cukup menggoda, ia seringkali berakhir jadi uji kecepatan tombol keyboard yang lagi-lagi, repetitif. Anda akan menemukan mini-game yang tidak mengandalkan kecepatan tekan memang, namun ia juga berujung tidak istimewa. Salah satu mini game bertema burung yang harus Anda kendalikan bahkan terasa mustahil untuk diselesaikan dan tak intuitif di akhir.
Pada akhirnya, pondasi desain Troublemaker juga berujung tidak seperti Bully ataupun Yakuza, di luar masalah kualitas kedua game populer tersebut yang notabene jauh lebih tinggi karena statusnya sebagai produk game AAA. Yang kami angkat di sini adalah absennya konsep open-world ataupun sekadar semi open-world yang ditawarkan oleh Troublemaker. Satu-satunya lokasi yang bisa Anda jelajahi selama cerita adalah si SMK itu sendiri. Anda tidak bisa keluar dari SMKyang notabene juga didesain sebagai wilayah yang tak seberapa besar. Anda memang bisa berjalan-jalan di dalamnya, namun tidak ada opsi misalnya dimana Anda mengambil motor yang terparkir dan kabur dari sekolah jika Anda ingin misalnya. Troublemaker adalah game linear dengan sedikit dunia yang terbuka, itu saja.


Bahkan lebih parahnya lagi, proses eksplorasi yang notabene jadi nyawa game “open-world / semi open-world” bahkan tidak difasilitasi oleh game ini. Di sela-sela ketika proses eksplorasi diperbolehkan, Anda akan menemukan ada begitu banyak hal di lingkungan SMK-nya yang berujung hanya sebagai “hiasan” saja. Ada kelas yang pintunya terbuka namun tak bisa Anda masuki, ada pula kantin super luas yang kembali tak bisa Anda masuki tanpa alasan yang jelas, atau sekadar beragam objek yang minim interaktivitas selain sebuah bola yang bisa Anda dorong-dorong di lapangan. Bahkan di beberapa misi sekalipun, Anda “dipaksa” untuk menggunakan sebuah jalur gerak spesifik untuk bisa memicu misi ataupun cut-scene terlepas dari fakta bahwa Anda bisa saja menggunakan jalur sebaliknya untuk mencapai lokasi yang sama. Jelas, Troublemaker tidak datang dengan pondasi pemikiran dan desain yang memungkinkan Anda untuk melakukan banyak hal di dalam SMK yang desainnya sendiri sudah terhitung kecil.
Kesimpulan

Jika ada satu hal yang jelas bisa kami dapatkan dari sesi playthrough dengan Troublemaker ini adalah terang benderangnya ambisi yang dipamerkan oleh si tim developer, yang jelas membangun game ini dengan hasrat tinggi, namun berujung terbatas karena masalah impotensi. Bahwa jelas ada sesuatu yang spesial yang ingin mereka racik di game ini, namun berujung tak bisa terealisasi karena beragam faktor. Yang kita dapatkan adalah sebuah game action repetitif dan hambar yang penuh dengan momen cringe alih-alih menggugah emosi. Bahwa satu-satunya yang dijual adalah humor absurd nan receh dan percakapan penuh kata-kata kotor yang diasosiasikan dengan “kekerenan” di dalamnya. Semuanya dibangun di atas plot yang berada di luar nalar.
Namun di luar semua kekurangan tersebut, kami setidaknya berujung jatuh hati pada tim 2D Artwork milik sang tim pengembang yang harus diakui, melakukan tugasnya dengan sangat baik. Sulit rasanya untukmembayangkan akan ada nilai positif yang bisa kami angkat jika elemen yang satu ini tidak tereksekusi dengan sangat baik di mata kami. Kami bahkan tidak ragu untuk merekomendasian untuk memperlengkap dan menyempurnakannya lagi sebagai pondasi untuk melebarkan pasar Troublemaker ke pasar komik, fisik ataupun digital dengan kualitas artwork yang ada. Ada potensi yang besar di sana.
Dengan statusnya sebagai game indie terjangkau dan fakta bahwa ia tetap produk playable yang minim masalah teknis dari awal hingga akhir permainan, Troublemaker tetap produk yang menarik untuk dipinang di Steam saat ini apalagi jika Anda penasaran dengan kualitas yang ia tawarkan. Terlepas dari apakah Anda menikmatinya atau tidak, ia bisa tumbuh menjadi bukti untuk dua skenario ekstrim yang terjadi di masa depan: pertama, ini adalah batu pijakan yang membuat Gamecom Team belajar banyak dan berujung melahirkan game 3D Nusantara yang pantas dirayakan dan dipuja-puji atau kedua, sebuah study case bagaimana sebuah tim developer selayaknya belajar berjalan dulu setelah merangkak sebelum memutuskan ia siap untuk terbang.
Kelebihan

Artwork 2D yang keren
Animasi serangan pemungkas cukup halus
Soundtrack pantas diacungi jempol
Kekurangan

Translasi artwork 2D ke dunia 3D berujung buruk
Gameplay action repetitif
Ekonomi untuk harga jual item butuh balancing
Cerita berada di luar nalar dan kurang menarik
Banyak momen cringe
Penggunaan kata-kata kotor yang terlalu berlebihan dan tidak tepat
Mini-game berujung membosankan
Sisi eksplorasi sangat dibatasi
Kualitas voice-acting di bawah standar
Cocok untuk gamer: yang penasaran dengan game lokal, ingin sesuatu yang punya tema sekolah Indonesia
Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan game action super fun, yang mendambakan game “Bully Indonesia” atau “Yakuza Indonesia”.