Review Alan Wake 2: Game Supernatural Super!
Memesona di Playstation 5, Luar Biasa di PC Bertenaga

Kemampuan Northlight Engine untuk membangun game terbaru Remedy Entertainment dengan kualitas presentasi visual terkini memang tidak perlu lagi diragukan. Ia sudah menjadi pondasi untuk membangun game sci-fi horror CONTROL beberapa tahun lalu yang bahkan sempat dijadikan percontohan implementasi teknologi generasi awal ray-tracing di kala itu. Dengan Alan Wake 2 yang notabene sangat menjual horror dari sisi atmosfer, engine ini kian terlihat memukau, apalagi jika Anda memang memiliki PC yang cukup kuat untuk menikmatinya.
Tampil indah dah sepadan dengan rilis game modern untuk versi Playstation 5, yang tetap mengalami penurunan framerate signifikan di beragam scene hujan, terutama di daerah hutan, sisi presentasi visual paling memukau Alan Wake 2 akan bisa Anda nikmati di versi PC mentok kanan. Dengan teknologi yang tidak hanya mendukung ray-tracing saja, tetapi juga Path Tracing dan DLSS 3.5, game ini tampil sangat memanjakan mata. Melihat bagaimana hujan tak hanya meninggalkan kubangan air tetapi juga pantulan objek sekitar hingga bagaimana padu padan warna lampu dan senter Anda melebur selayaknya cahaya dan bayangan bekerja benar-benar membantu membangun atmosfer horror yang lebih efektif. Namun sayangnya, Anda benar-benar butuh PC bertenaga alias mahal untuk menikmatinya.


Atmosfer memang merupakan kunci Alan Wake 2. Seperti sang seri pertamanya, Anda akan bertemu dengan sensasi kota kecil Amerika Serikat seharusnya yang biasanya datang beragam festival aneh di dalamnya. Kota-kota ini memang dijadikan sejenis hub di Alan Wake 2 lengkap dengan begitu banyak lokasi dan arsitekturnya, dari sekadar diner sampai kantor polisi. Berita baiknya? Hal-hal yang memuat konten horror di dalamnya juga tidak hanya akan berkisar pada sekadar hutan-hutan gelap dan perairan gelap saja. Perjalanan horror Anda akan membawa Anda ke beragam lokasi menarik, dari sekadar taman bermain, rumah panti jompo besar, bioskop, hingga apartemen menjulang tinggi yang masing-masing datang dengan twist mereka. Kegelapan tentu saja akan berkontribusi besar membangun atmosfer, mengingat monster yang menyerang Saga dan Alan memang hanya bisa bekerja dan menyerang di kondisi seperti ini.
Hal lain yang cukup membuat kami terpukau juga datang dari model karakter yang Anda temui di sepanjang perjalanan. Tidak seperti CONTROL dimana dialog selalu didominasi dengan animasi zoom ke wajah karakter, Alan Wake 2 datang dengan pendekatan yang lebih klasik. Walaupun demikian, bukan berarti Anda tidak bisa melihat detail raut wajah mereka saat berbicara atau saat hendak memproyeksikan emosi tertentu. Salah satu yang dieksekusi dengan tepat adalah si tukang bersih-bersih sekaligus entitas misterius – Ahti yang begitu ekspresif di wajah ini. Alan Wake 2 juga datang dengan konten gore yang cukup detail, dimana tak sekadar bergerak mundur, tembakan Anda juga terkadang bisa membuka lapis kulit dan memamerkan isi organ monster-monster ini.

Maka tidak ada sebuah game horror yang mampu menyebut diri mereka sebagai game horror tanpa menawarkan kualitas audio yang maksimal. Dengan voice acting dan acting itu sendiri yang pantas utnuk diacungi jempol, Remedy juga berhasil membangun atmosfer horror yang dibutuhkan via implementasi audio yang ada. Bulu kuduk mana yang tidak bergidik ketika bayangan-bayangan yang tengah berdiri diam dan tak agresif tiba-tiba memanggil-manggil nama “Wake”, atau bagaimana tiba-tiba ada suara ledakan karena proyektil kegelapan yang entah datang dari mana. Walaupun sifat musuhnya sedikit berbeda, namun kisah untuk Saga juga mendapatkan perlakuan yang setara. Dengan semua kombinasi ini, Alan Wake 2 berhasil tampil memukau dari sisi presentasi, baik visual ataupun audio.
Andalkan Cahaya!

Untuk Anda yang tidak terlalu familiar dengan seri ini, Alan Wake 2 sangat bisa disederhanakan dengan identitas sebagai game “survival horror”. Ini berarti alih-alih hanya bisa berteriak dan berlari, Anda akan dipersenjatai dengan ragam senjata, baik senjata api konvensional atau sesuatu yang mematikan karena mengikuti lore Alan Wake itu sendiri. Sementara konsep survivalnya akan berkutat,pada dua hal: rentannya Anda sebagai karakter utama yang akan terasa lebih lemah dibandingkan para “monster” yang Anda hadapi terutama karena kecepatan gerak dan serangan mereka serta karena jumlah peluru yang terbatas jika Anda tak banyak mengeksplorasi. Maka seperti game survival horror kebanyakan pula, kombinasi kerentanan dan atmosfer ini akan senantiasa membuat Anda tegang.
Alan Wake 2 seperti yang kami bicarakan di sisi plot, memang menawarkan dua tokoh protagonis utama – Alan Wake yang masih terjebak di Dark Place dan Saga Anderson yang bekerja di kota Bright Falls. Lantas bagaimana keduanya bekerja? Di beberapa chapter awal permainan, siapa karakter yang Anda mainkan akan bergantung pada cerita yang tengah berjalan, dimana Anda tidak punya opsi memilih. Namun ketika sudah masuk berada di salah satu titik cerita, kebebasan itu ditawarkan, dimana Anda bebas hendak melanjutkan cerita milik Saga atau Alan lebih dulu. Mengingat cerita keduanya akan terikat satu sama lain, tentu juga akan ada titik dimana kedua cerita tersebut bertemu, dan opsi Anda untuk memainkan cerita siapa lebih dahulu berujung dicabut.


Perbedaan kisah antara Saga dan Alan tidak hanya masalah lokasi saja, dimana Saga akan menelusuri “dunia nyata” yang akan terbagi ke dalam beberapa wilayah seperti Cauldron Lake, Bright Falls, dan juga Watery. Sementara Alan harus berjuang untuk keluar dari Dark Place yang berbentuk bak sebuah bagian kecil kota dengan ragam gedung tinggi dan jalan-jalan kecil yang memecahnya. Walaupun keduanya harus berhadapan dengan ancaman yang sama – Dark Presence, musuh yang dihadapi keduanya akan muncul dengan varian yang berbeda juga, dimana Saga akan bertemu dengan lebih banyak jenis yang menyeramkan dan mematikan.
Karena situasi ancaman yang berbeda ini pula, maka Saga dan Alan juga akan dipersenjatai dengan ragam senjata yang berbeda pula. Mengingat gameplay milik Saga punya cita rasa action lebih kental, ia punya lebih banyak varian senjata, dari rifle, pistol, shotgun, hingga crossbow. Sementara Alan tetap harus “puas” dengan revolver dan shotgun yang untungnya cukup untuk mengatasi ragam ancaman di Dark Place. Mengingat entitas yang jadi musuh Anda bernaung di kegelapan, kedua karakter ini juga bisa menggunakan ragam item penghasil cahaya seperti granat flashbang hingga flare untuk mengusir atau membasmi mereka. Anda yang malas melawan dan ingin berlari atas nama menghemat resource juga selalu punya opsi untuk berlindung di lokasi-lokasi dengan cahaya terang yang akan membuat musuh-musuh ini kebingungan dan tidak mampu melacak keberadaan Anda.


Namun ketika situasi runyam dan perang terbuka harus dilakukan, sistem pertempuran Alan Wake 2 mirip dengan sang seri pertama. Sebagian besar musuh yang Anda temui pertama kali akan dilindungi dengan sejenis aura kegelapan yang membuat mereka tak bisa dilukai. Oleh karena itu, menggunakan resource baterai yang juga harus Anda kumpulkan, Anda bisa membuat sinar senter Anda fokus dan terang-benderang untuk menghapus aura tersebut, sebelum Anda bisa berujung melukai mereka. Sementara senjata berbasis cahaya seperti flashbang misalnya, akan bisa langsung Anda gunakan tanpa melalui proses ini lebih dulu. Berita buruknya? Musuh yang Anda temui biasanya punya gimmick tersendiri, dari yang mampu melempar proyektil, bergerak super cepat kesana-kemari, hingga yang membawa senjata raksasa yang mematikan. Berita baiknya? Tidak hanya senjata, baik Alan ataupun Saga akan dibekali satu tombol dodge untuk menghindar cepat, tanpa sistem bar stamina.
Yang membuat Alan Wake 2 menarik tidak hanya datang dari sisi aksinya saja, tetapi juga puzzle yang bisa dibilang terlebur menjadi pondasi pengalaman Anda. Seperti halnya senjata dan musuh, baik Saga maupun Alan Wake akan punya dua metode berbeda untuk mencari tahu dan mengatasi konflik yang harus mereka hadapi. Untuk Saga, yang juga menguatkan posisinya sebagai seorang investigator FBI, proses tersebut ditampilkan dalam bentuk Case Board. Menjadi bagian esensial untuk mendorong cerita, tidak sedikit situasi dimana Anda harus mencari beragam clue, yang kemudian disusun sedemikian rupa di papan logika ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Proses ini juga terkadang melewati aksi Profiling – alias usaha Saga berusaha membaca isi pikiran sang target untuk menemukan clue lebih jauh. Begitu semua logika yang dibutuhkan sudah berada di papan, Anda biasanya akan mendapatkan antara solusi atau progress cerita yang ada. Menariknya lagi? Semuanya terjadi di dalam Mind Place milik Saga yang bisa diakses bak Anda mengakses menu party di game RPG misalnya.


Sementara untuk Alan, dengan logika Dark Place yang tidak terperangkap di dunia nyata, sebagian solusi dari konflik utama yang harus ia hadapi akan bisa diselesaikan dengan menulis cerita. Atas nama upaya untuk kabur dari tempat misterius tersebut, Alan akan bertemu dengan beberapa lokasi dan situasi dimana bergantung pada plot yang ia tulis (atau sekadar opsi yang Anda pilih), ia akan mempengaruhi bentuk dunia yang ada. Maka kuncinya terletak pada upaya mencari tahu sebanyak mungkin alternatif cerita yang bisa ditulis kemudian merotasi mereka untuk melihat kira-kira cerita mana yang berakhir membuka jalan untuk bergerak maju. Alan juga akan dibekali dengan kemampuan untuk menangkap dan menyimpan cahaya dengan sebuah tongkat yang kemudian didistribusikan untuk menerangi area lain, yang lagi-lagi, akan membuka area yang biasanya dibutuhkan untuk mendorong cerita.
Maka dengan konsep dunia dan wilayah yang cukup luas dan terbuka, baik bagi Alan ataupun Saga, maka Remedy juga berhasil menyuntikkan motivasi ekstra untuk menjelajahinya. Bagi petualangan Saga, selain resource senjata dan item, aksi eksplorasi Anda bisa berujung pada penemuan ragam hal – dari stash milik Cult yang berisikan resource namun butuh puzzle atau kunci spesifik untuk dibuka. Ada pula potongan fragment di kotak makanan anak-anak yang bisa didistribusikan untuk mengupgrade senjata Anda agar lebih mematikan. Anda juga akan menemukan banyak puisi berceceran dengan pola ritual berbasis gambar dan teka-teki berbasis kata dimana Anda harus menempatkan boneka tertentu di gambar tertentu. Berhasil? Anda bisa membuka item bernama Charm yang bila dipasangkan ke Saga, ia akan memberikan buff spesifik tertentu.
Di sisi Alan, situasi yang Anda hadapi juga serupa tetapi tidak sama. Mirip dengan kemampuan upgrade senjata milik Saga yang bisa didistribusikan bebas begitu jumlah Fragments terkumpul cukup, Alan juga punya konsep bernama Words of Power. Namun sistemnya tentu berbeda. Hadir sebagai sebuah pusaran kalimat berbentuk spiral yang tertempel di banyak lokasi eksplorasi dengan cat kuning yang mendominasi, poin upgrade yang Anda dapatkan akan bergantung pada Words of Power mana yang Anda temukan dan dapatkan. Setiap jenis akan bisa didistribusikan ke dalam tiga alternatif pilihan. Jika misalnya Words yang Anda dapatkan adalah Word of Fix misalnya, maka ia tidak bisa didistribusikan ke Word of Lamp.
Proses penguatan ini tentu akan memudahkan perjalanan Anda, apalagi mengingat game ini juga datang dengan sistem pertarungan boss-nya sendiri. Beberapa di antara boss ini bisa ditundukkan dengan menyelesaikan objektif tertentu di arena sembari berusaha bertahan hidup, namun ada jenis boss pula yang lugas dimana satu-satunya cara untuk menang adalah memuntahkan sebanyak mungkin peluru yang Anda miliki. Situasi ini selalu berujung menegangkan.


Berita baiknya? Setidaknya di tingkat kesulitan normal yang kami cicipi dari awal hingga akhir, kami tidak pernah menemukan situasi dimana kami berujung tidak memiliki sedikitpun peluru untuk melawan saat ancaman tiba baik sebagai Saga ataupun Alan. Bahkan untuk garis cerita Saga, ketika cerita mulai memasuki end-game, Anda tidak akan sulit menemukan musuh-musuh yang kini ikut menjatuhkan resource setelah mereka tewas, yang seringkali membuat resource Anda senantiasa berada di fase “aman”. Setidaknya untuk sebuah game survival horror, ia tidak berujung membuat frustrasi karena keputusan-keputusan limitasi resource yang sempat kami rasakan di The Evil Within pertama misalnya.
Namun sayangnya, ada satu keputusan gameplay yang berujung tak kami nikmati. Seperti banyak game survival horror, seiring dengan lebih banyak tools yang didapat Saga di cerita, semakin banyak pula area terkunci yang sebelumnya tak bisa ia buka kini terbuka untuk dicari dan dieksplorasi. Apalagi ada banyak item dan resource yang bisa Anda cari di titik manapun Anda inginkan. Permasalahannya? Terlepas dari area yang luas dan lari yang terhitung lambat, game ini tidak menghadirkan fitur fast-travel. Ini berarti Anda harus berlari jauh dan lama ke satu area jika Anda misalnya melewatkan sesuatu atau mungkin berusaha membuka area yang selamanya terkunci. Untuk sebuah game berdurasi 20-25 jam, ini mulai menyebalkan di paruh terakhir cerita. Kadang hal ini juga diperburuk dengan sistem checkpoint yang cukup jauh, yang di situasi pertarungan yang mematikan misalnya, bisa berujung membuat Anda harus melewati proses yang sama lagi, baik jalan ataupun puzzle hanya untuk tiba di titik Anda mati.