Review Outlast 2: Tidak Lebih Baik!
Unreal Engine 3 yang Masih Memesona!

Ketika berbicara soal game-game rilis terbaru yang kini terlihat kian realistis, maka sebagian besar dari kita mungkin akan langsung mengasosiasikannya dengan implementasi engine versi teranyar yang lebih modern. Sebagai contoh? Deus Ex punya Dawn Engine, Square Enix punya Luminous, Horizon Zero Dawn punya DECIMA, dan banyak game rilis AAA yang juga mengandalkan engine third party seperti Unreal Engine 4. Namun percaya atau tidak, terlepas dari kualitas visualisasi yang memesona, Outlast 2 masih dibangun dengan pondasi engine generasi sebelumnya – Unreal Engine 3 yang dirombak besar-besaran. Dibandingkan dengan seri sebelumnya, peningkatan visual di Outlast 2 memang terhitung signifikan.
Bahkan di beberapa titik permainan, terutama dalam ruangan dan scene halusinasi Blake yang membawanya ke setting sekolah berhasil hadir dengan detail foto-realistis yang memesona. Tanpa mengetahuinya sebagai bagian dari video game, Anda bisa saja mengambil screenshot dan mengecoh orang awam dengan menyebutnya sebagai objek yang memang Anda “tangkap” di dunia nyata. Kualitas lighting yang ditawarkan mengingat event yang Anda lalui sebagian besar terjadi di malam hari juga pantas untuk diacungi jempol. Untuk menghadirkan kesan yang lebih sinematik, Red Barrels juga menyuntikkan efek grain yang lebih kentara, terutama ketika Anda menggunakan kamera video Anda yang tetap jadi identitas utama di Outlast 2 ini.


Lantas, mampukah mereka menawarkan atmosfer setepat Outlast pertama di masa lalu? Untuk sebuah seri yang menitikberatkkan tema pada aspek religi yang sesat dengan ragam simbol di atasnya, Anda seperti dibawa masuk ke dalam film horror klasik era tahun 80/90-an yang dipenuhi dengan konsep serupa. Namun di Outlast 2, mereka berusaha mendefinisikan “ketakutan” ini dengan lebih menawarkan lebih banyak adegan penuh darah, potongan tubuh, dan kematian di atasnya. Anda akan melihat banyak mayat dengan wujud yang tak sempurna lagi, bersandingan dengan tempat pemotongan hewan yang penuh genangan darah dan terasa akan punya bau busuk yang menyeruak. Mereka juga masih menyertakan scene-scene yang akan membuat Anda merasa tidak nyaman.


Satu yang menarik dari Outlast 2 adalah usaha yang jelas dari Red Barrels untuk tidak lagi sekedar mengandalkan “Jump scare” murahan layaknya seri pertama untuk menciptakan atmosfer horror yang kentara. Bahwa seperti game-game horror modern yang solid belakangan ini, mereka ingin memastikan perasaan tegang dan menakutkan tersebut kini lebih difokuskan untuk muncul dari setting yang mereka racik atau desain “monster” yang mereka tawarkan. Menurut kami pribadi, ini adalah sebuah arah yang solid, walaupun mungkin banyak gamer di luar sana yang mungkin berujung tak berbagi sentimen yang sama.

Untuk masalah presentasi, Outlast 2 bisa dibilang mengagumkan. Mereka berhasil meracik Unreal Engine 3 dengan begitu fantastisnya, hingga ia bisa terlihat sejajar dengan game-game rilis terbaru sekalipun. Sebuah game yang dengan mudahnya, akan membuat jantung Anda berdetak cepat sembari menahan napas untuk menikmati tiap momen yang ia tawarkan.
Tak Lebih Baik!

Sayangnya, dari sisi gameplay, kami tak bisa menyebut Outlast 2 lebih baik daripada Outlast pertama. Ia masih menawarkan formula serupa yang sama dengan seri pertamanya, sebenarnya. Anda tetap berperan sebagai karakter utama yang tidak mampu melawan dan hanya bisa berlari untuk mencapai area selanjutnya dan menempuh progress cerita. Terkadang, di satu titik permainan, Anda akan dituntut untuk mencari dan menemukan item tertentu dan melakukan aktivitas spesifik sebelum bisa melanjutkannya. Untuk Anda yang sudah sempat mencicipi Outlast pertama ataupun game horror lain yang tak memungkinkan Anda untuk banyak melawan, maka Anda sepertinya sudah bisa mengerti soal apa yang ditawarkan Red Barrels di Outlast 2 ini.
Masih bersenjatakan video kamera yang berfungsi sebagai teropong jarak jauh, “senter”, dan juga alat perekam momen untuk membantu Anda mendapatkan gambaran lebih jelas soal apa yang terjadi di neraka yang satu ini, Outlast 2 mendasarkan diri pada formula yang familiar. Perbedaan yang paling signifikan terletak pada dua hal: tema dan luas setting yang menjadi arena permainan Anda. Untuk masalah tema, Anda tentu sudah mengetahui perbedaan keduanya. Sementara untuk sisi luas setting permainan? Outlast 2 memang didesain dengan lebih banyak menawarkan dunia yang terbuka dibandingkan seri pertamanya. Bahwa alih-alih berhadapan dengan ruangan demi ruangan, koridor demi koridor, Anda kini punya dunia lebih besar dengan beberapa alternatif jalan dan ruang yang bisa Anda eksplorasi. Sayangnya, hal ini justru berujung menjadi bumerang tersendiri.


Salah satu cara untuk menyederhanakan dan membedakan pengalaman yang ditawarkan oleh Outlast pertama dan kedua ini adalah dengan mengasosiasikannya dengan permainan anak-anak. Outlast pertama lebih kental dengan permainan petak umpet, dimana Anda harus bersembunyi dengan sebaik mungkin untuk “selamat”. Terkadang jika situasi aman, Anda bisa menempuh objektif utama yang dibutuhkan. Sementara di Outlast 2, luasnya dunia yang ia tawarkan justru membuatnya tercabut dari akar tersebut. Outlast 2 justru lebih rasional untuk diasosiasikan dengan permainan kejar-kejaran, karena memang itulah aktivitas utama yang harus sering Anda lakukan. Anda akan menuju ke satu tempat baru, melihat ancaman seperti apa yang ada, dan kemudian berlari, berlari, berlari, dan berlari sembari mencari tahu kemana seharusnya Anda melangkah. Salah langkah dan mati? Silakan lakukan hal yang sama lagi.
Dengan tanpa peta yang jelas, percaya atau tidak, belari – salah langkah – mati – mengulang – belari – menemukan tempat yang tepat – progress cerita akan jadi sekuens yang secara rutin Anda ulang di Outlast 2 ini. Desain dunia yang luas seperti ini membuat perasaan terancam tidak sekentara di seri pertama. Otak dan tubuh Anda pelan tapi pasti akan mulai belajar bahwa memang Anda selalu punya opsi untuk berlari dari bentuk ancaman seperti apapun yang mungkin terjadi. Sementara di sisi lain, ia juga membuka “kelemahan” desain AI dari Red Barrels itu sendiri. Untuk memastikan bahwa gamer tetap merasa terancam dan tidak menyelesaikan game ini terlalu cepat karena opsi untuk terus berlari tersebut, mereka membuat AI para pengejar, terutama “monster” mengancam seperti Martha tak seimbang. Seperti seorang Predator dengan sensor panas, Martha terkadang bisa menangkap Anda yang sudah tersembunyi dengan sangat baik tanpa alasan yang jelas. Padahal Anda tidak mengeluarkan suara, tidak pula menyalakan sumber cahaya, dan sejenisnya. Untuk alasan yang jelas, Anda akan menemukan kondisi dimana Martha tiba-tiba, tahu dimana posisi sembunyi Anda secara misterius.


Outlast 2 memang berusaha “menebus” konsep open-world ini dengan menawarkan dunia halusinasi Blake yang lebih tertutup, konsep yang serupa dengan Outlast pertama. Dimana Anda akan lebih banyak bermain dari satu koridor ke koridor lainnya. Namun sayangnya, konsep ini juga bertabrakan dengan desain monster yang menghantuinya itu sendiri. Sama seperti yang kami sebutkan di atas, Outlast 2 juga tetap meminta Anda untuk lebih sering berlari dari sumber ancaman di dunia halusinasi ini, daripada bersembunyi dan menunggunya lewat begitu saja. Kombinasi keduanya benar-benar membuat game ini lebih membuat Anda sering berlari daripada bersembunyi. Kami bahkan yakin bahwa kami berhasil meyelesaikan game ini di tingkat kesulitan normal dengan tak lebih dari 10 kali bersembunyi di ragam tempat.

Satu hal yang membuat Outlast pertama begitu menyeramkan adalah situasi dimana Anda merasa terjebak di dalam sebuah tempat yang secara konsisten berusaha mencabut nyawa Anda, dimanapun dan kapapun. Sementara di Outlast 2, perasaan “terjebak” ini sayangnya, tidak menjadi emosi yang dominan di sesi permainan yang Anda jejali. Karena pada dasarnya, dunia terbuka yang ia tawarkan pada akhirnya menawarkan satu tantangan lebih jelas – mencari tahu kemana jalan selanjutnya, alih-alih soal bertahan hidup. Jujur saja, kami jauh lebih menyukai dunia halusinasi sekolah milik Blake daripada plot utama terkait sekte sesat yang ditawarkan Outlast 2 karenanya.