Review Days Gone: Kontras Keindahan dan Kematian!
Kontras Keindahan dan Kematian

Salah satu syarat utama untuk sebuah game open-world yang memukau adalah presentasi dunianya yang memesona, sesuatu yang berhasil dilakukan Sony Bend dengan tepat. Mencitrakan sebuah dunia yang sudah berusaha bertahan hidup 2 tahun setelah sebuah pandemik global yang mengubah miliaran manusia di seluruh dunia – Farewell, Oregon, Amerika Serikat sepertinya menjadi setting yang tepat. Ia melebur sebuah setting yang jelas memperlihatkan konsekuensi destruktif dari kekuatan para Freakers, namun di sisi lain, mencitrakan keindahan alamnya yang memanjakan mata. Sebuah kontras yang menarik untuk dinikmati.
Sisa-sisa peradaban di masa lalu dicitrakan dengan baik di Days Gone. Anda akan bertemu dengan rongsokan kendaraan yang ditinggalkan begitu saja di jalan sembari memerhatikan rumah penuh kerusakan yang isinya penuh dengan sampah. Terkadang Anda akan menemukan mayat yang tergeletak begitu saja, segar ataupun yang sudah berusia begitu tua di sana. Anda jelas bisa melihat bahwa ini bukan lagi dunia yang Anda kenal. Namun di sisi lain, semuanya disajikan di sebuah dunia yang secara landmark, begitu memanjakan mata. Pegunungan tinggi sebagai background, salju yang turun deras di musim dingin dan menutup segala sesuatunya dengan warna putih yang indah, ataupun warna lumpur yang sepertinya menyatu dengan daun pepohonan yang mulai menggugur. Secara sederhana, presentasi visual yang ditawarkan Days Gone memang memesona.


Satu yang membuat kami jatuh hati adalah bagaimana Sony Bend sama sekali tidak ragu untuk menjadikan “taman bermain” ini sebagai ruang bercerita implisit soal kegelapan dan brutalitas yang harus dihadapi mereka yang masih dan sempat menghuninya.
Cerita soal kanibalisme untuk mereka yang butuh pasokan protein ekstra misalnya, didengungkan selayaknya sebuah realita yang tidak terhindarkan. Atau bagaimana para Newt – musuh “zombie” yang harus Anda lawan dan bunuh sebenarnya adalah anak-anak yang terekspose virus yang sama dengan Freakers. Setiap ayunan pemukul bisbol yang Anda layangkan untuk memecahkan kepala mereka sebenarnya memosisikan Anda sebagai pembunuh anak-anak, yang bisa jadi sembuh jika memang vaksin atau obat ditemukan di masa depan. Aksi eksplorasi Anda juga terkadang berakhir dengan “cerita tersembunyi” yang memilukan, dari pria yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri hingga kelas yang melakukan bunuh diri massal untuk memastikan mereka semua tewas sebagai manusia, dan bukan sebagai Freakers. Nasib yang terdengar lebih baik.


Semuanya kemudian dikombinasikan dengan ragam visual efek yang juga mendukung visualisasi lebih baik. Salah satu keluhan terbesar yang sempat kami bicarakan dari media preview sebelumnya dimana sensasi impact peluru pada jenis musuh manusia dan Freakers tidak terasa akurat, Days Gone memperbaiki hal tersebut di versi final. Musuh kini akan menghasilkan reaksi tertentu saat ditembak, dari terjatuh hingga punya gerak lari yang lebih lambat. Namun tidak seperti Resident Evil 2 Remake, tidak ada sistem kehancuran tubuh yang bisa digunakan untuk keuntungan strategis. Sangat disayangkan memang, mengingat efek seperti ini akan sangat berguna saat melawan ratusan Freakers yang menyerang Anda sebagai Horde misalnya. Namun secara keseluruhan, sensasi menggunakan senjata Days Gone memang lebih memuaskan daripada build lawas yang kami jajal di beragam event sebelumnya.
Efek tata cahaya untuk dramatisasi tentu juga digunakan di sini. Dengan efek siang-malam dinamis yang juga mempengaruhi gameplay (yang akan kita bicarakan nanti), Days Gone tentu memuat sistem tata cahaya cukup akurat untuk merefleksikan waktu yang tengah Anda jalani saat ini. Menggabungkannya dengan landscape yang ada, menikmati matahari terbit atau terbenam selalu menjadi sebuah pemandangan yang melegakan hati. Sistem cahaya ini juga terasa lebih signifikan ketika Anda memasuki sebuah gua super gelap dengan cahaya senter yang terbatas sembari berharap bahwa Anda tidak bertemu dengan Horde yang tengah tidur pulas di dalamnya. Ia memainkan peran ekstra daripada sekedar kosmetik belaka. Kami juga berujung jatuh hati pada desain menu yang bisa Anda akses, dari skill sampai peta dengan sedikit preview gambar, font, dan pilihan warna yang harus diakui, berujung super elegan.

Maka tidak lengkap rasanya untuk membicarakan game-game racikan developer first-party Sony tanpa membicarakan sisi musik yang notabene selalu dijadikan sebagai elemen serius yang diperhatikan. Soundtrack yang mengalun menemani setiap sisi cerita yang Anda nikmati akan berjalan dengan tepat. Namun satu yang menarik, ada cita rasa “Rockstar” di cara mereka menanganinya, terutama Red Dead Redemption – seri pertama ataupun kedua. Bahwa alih-alih musik, perjalanan Anda bergerak dari satu titik ke titik lainnya sesuai cerita terkadang diikuti dengan alunan lagu yang memang tampil menggugah, menghasilkan atmosfer dan emosi yang spesifik. Hal lain seperti efek suara untuk kelas Freakers yang berbeda dan bunyi senjata juga dipresentasikan dengan baik.
Walaupun demikian, ada satu hal “aneh” yang terasa inkonsisten dari sisi presentasi visual dengan gameplay – organisasi NERO yang Anda temui di sepanjang perjalanan. Selalu berisikan 1 peneliti dan pasukan penjaganya yang bersenjata lengkap, sesi permainan NERO selalu berujung sebagai permainan stealth dimana Deacon tidak bisa menyerang sama sekali. Namun sayangnya, game memberikan alasan absurd untuk mendukung gameplay ini. Deacon disebut tidak bisa menyerang pasukan NERO karena mereka bersenjata “terlalu lengkap” dan “terlalu berbahaya” untuk ditundukkan. Sementara di sisi lain, Anda datang menghampiri mereka dengan 1 buah machine gun, 1 buah assault rifle, dan 1 buah SMG dengan ratusan peluru. Bagaimana mungkin semua senjata ini tidak bisa menembus pakaian perlindungan kontaminasi sederhana yang mereka gunakan? Ada yang tidak sinkron di sini.


Namun di luar sisi presentasi absurd ini, Days Gone berujung mengagumkan dari sisi visual dan audio. Tidak sekedar menawarkan alam liar yang indah, tetapi menciptakan kontras dengan efek kehancuran dan tema super gelap yang muncul sebagai konsekuensi kiamat kecil yang kian mengecilkan harapan hidup seiring dengan berlalunya waktu. Anda akan jatuh hati sejak pandangan pertama.
Jatuh Cinta pada Deacon

Untuk sebuah game yang menjadikan cerita sebagai fokus, perjalanan cerita dari satu titik ke titik lain tentu bukan satu-satunya elemen yang penting untuk diperhatikan oleh developer. Meracik karakter yang menarik untuk diikuti sepak terjangnya dengan karakteristik yang memang manusiawi di dalamnya tentu jadi sebuah keharusan. Days Gone secara mengejutkan, berhasil melakukan hal tersebut dengan sosok sang protagonis utama – Deacon.
Jika harus jujur, kami termasuk gamer yang sempat ragu dengan kualitas Deacon sebagai karakter utama sejak Sony Bend memperkenalkan Days Gone pada publik. Seorang mantan anggota militer yang tergabung dengan geng motor dengan kemampuan menggunakan senjata yang mumpuni, ia terlihat seperti karakter utama klise yang sudah Anda temukan di banyak film Hollywood, yang kelas atas ataupun yang murahan. Satu-satunya yang bisa “menyelamatkan” Deacon tentu saja sosok Sarah – istri yang ia cintai namun menjadi sumber tragedi dan emosi di dalam cerita. Berita baiknya? Kami cukup terkejut dengan cara Sony Bend menangani Deacon.
Mengapa? Karena karakter yang satu ini berujung lebih kompleks dan manusiawi daripada apa yang kami bayangkan. Bahwa ia tidak dipotret dan berujung menjadi “karakter utama Hollywood” yang berbagi belakang layar yang sama, dimana ia sekedar tampil tangguh, menyelesaikan semua masalah dengan kompas moral yang selalu merujuk pada baik dan bijak, dan kemudian menyelesaikan ragam trauma masa lalu dengan mudahnya. Deacon lebih daripada itu. Ketika dihadapkan pada situasi sulit yang bisa berujung menjadi klise, ia datang dengan solusi dan sikap yang mengejutkan. Bahwa pada akhirnya, Deacon berakhir menjadi karakter “abu-abu” yang menarik.


Days Gone memang tidak memberikan opsi bagi Anda untuk memilih respon dan berhadapan dengan konsekuensinya, ala banyak game open-world. Namun keputusan tersebut memberikan banyak ruang bagi Sony Bend untuk membentuk karakter Deacon seperti yang mereka inginkan, tanpa perlu mempertimbangkan keputusan gamer. Hasilnya adalah karakter dengan sisi kemanusiaan yang menarik dan sulit untuk ditebak. Bahwa tidak seperti karakter “protagonis” pada umumnya yang sekedar datang untuk membela kebenaran dan membasmi kejahatan, Deacon adalah karakter egois yang eksis di sebuah dunia brutal yang tidak mengenal belas kasihan. Bahwa ia mengedepankan apa yang menguntungkannya dan tidak akan berdiri untuk sekedar melakukan segala sesuatunya tanpa pamrih.
Deacon juga tampil sebagai karakter yang tidak takut untuk menempuh solusi yang “ekstrim” pada sebuah masalah dengan kompas moral yang mungkin tidak akan sejalan dengan apa yang Anda kenali dari kata “baik” atau “bijak”. Sebagai contoh? Di salah satu cerita, ia sempat bertemu dengan rekan yang berhasil mencuri habis narkotika dari dokter di salah satu camp. Deacon diminta menjadi bounty hunter untuk “membawanya pulang” agar ia disiksa dan kemudian dihukum gantung. Dilema moral muncul karena Deacon sempat berteman dengannya selama beberapa lama. Anda mungkin merasa bahwa dilema moral akan berkisar soal apakah Deacon akan menyerahkannya kepada camp atau membebaskan karakter ini. Percaya atau tidak, Deacon sama sekali tidak pernah berpikiran untuk membebaskannya. Deacon hadir dengan satu resolusi jelas – orang ini akan mati, pertanyaannya kini berkisar soal semanusiawi apa.


Pendekatan karakter seperti inilah yang membuat kami jatuh hati pada sosok Deacon. Bahwa pelan tapi pasti, Sony Bend memperlihatkan kepada Anda bahwa ia adalah karakter egois yang di satu sisi, lebih pantas dipandang sebagai karakter anti-hero daripada seorang “superhero”. Ia memang memperlihatkan simpati dan rasa sayang di beberapa kondisi, terutama untuk orang yang memang dekat dengannya. Namun pada saat berhadapan dengan situasi yang lain, dimana jasanya sekedar dibutuhkan dan pertemanan tidak lebih menjaga hubungan baik di atas permukaan, Deacon hadir egois dengan pertimbangan yang jelas – apakah memang kondisi tersebut menguntungkannya atau tidak. Kehadiran karakter protagonis “abu-abu” seperti selalu kami sambut dengan tangan terbuka.
Satu hal fantastis lain yang berhasil dibangun oleh Sony Bend adalah hubungan Deacon dengan sang istri – Sarah yang diceritakan lewat plot flashback. Untuk sebuah game yang dimulai ketika pandemik terjadi dan kepanikan langsung menjadi isu, sistem cerita seperti memang kami nilai super tepat untuk tidak hanya membangun plot penting dari Days Gone itu sendiri, tetapi memperkenalkan sisi yang berbeda dari seorang Deacon. Anda pelan tapi pasti akan mengembangkan rasa simpati dan empati untuk sosok yang ternyata, siap melunak dan berubah untuk bisa hidup bersama dengan Sarah – sang belahan hati. Kondisi yang membuat duka Deacon karena kehilangan Sarah, memang sesuatu yang bisa Anda nilai esensial untuk bahkan, mengubah kepribadiannya secara keseluruhan.


Setiap flashback yang muncul, pelan tapi pasti, memberikan Anda sedikit cerita latar belakang soal hubungan Deacon dan Sarah. Tampil begitu manusiawi dan natural di saat yang sama, Anda tidak hanya bertemu dengan dua orang yang saling jatuh cinta saja, tetapi juga mempengaruhi gaya hidup masing-masing. Anda bisa melihat bagaimana Sarah mulai mengadopsi tato milik Deacon, atau bagaimana Deacon siap meninggalkan Mongrels – klub motor yang sudah menjadi bagian hidupnya untuk hidup bersama Sarah. Anda juga bisa menikmati kisah bagaimana perkawinan keduanya tidak direstui oleh siapapun, tetapi tetap dilakukan atas nama cinta dan kepercayaan bahwa tidak ada lagi yang penting bagi mereka, selain kehadiran masing-masing. Semuanya memberikan beban tersendiri bagi rasa duka bagi Deacon.

Berita baiknya lagi? bahwa karakteristik “abu-abu” ini tidak hanya terbatas pada sosok Deacon saja. Beberapa karakter pendukung yang lain juga berbagi karakteristik kemanusiaan yang sama. Ada Copeland – salah satu pemimpin Camp yang di satu sisi menjaga komunitasnya, tetapi juga menjadi suara di balik radio Oregon yang penuh dengan teori konspirasi yang tidak rasional. Anda juga bertemu dengan karakter pendukung seperti Rikki, seorang mantan drifter yang kebetulan biseksual, berpacaran dengan dokter wanita bernama Addy tetapi terlihat “haus” perhatian dari Deacon. Atau salah satu camp lain – Hot Springs yang memang terlihat aman dan sejahtera, namun punya kebijakan “kerja paksa” dimana siapapun yang hendak tinggal di dalamnya harus bekerja dan berkontribusi, bahkan jika Anda anak-anak sekalipun. Kombinasi seperti ini memberikan kesan kuat bahwa dunia Days Gone memang sebuah dunia yang butuh pengorbanan untuk sekedar bertahan hidup.