Review Little Hope: Bak Bukit Sunyi!
Supernatural atau Ilmiah?

Untuk saat ini, dengan hanya dari dua seri dari enam seri yang direncanakan, apa yang hendak dicapai Supermassive Games dengan keseluruhan The Dark Pictures Anthology memang masih misterius. Untuk saat ini, kita hanya tahu bahwa kesemua cerita ini berbagi satu benang merah yang sama – The Curator yang berperan sebagai narator sekaligus pembimbing dengan terkadang memberikan satu atau dua hint soal cerita seperti apa yang akan Anda dapatkan. Anda tidak akan mendapatkan kejelasan lebih baik soal siapa sebenarnya The Curator ini dan siapa Anda yang tengah duduk berhadapan denganya. Little Hope tidak akan menawarkan jawaban untuk misteri ini. Seperti halnya Man of Medan, fokus Little Hope tetap berada pada cerita terpisah yang diusung.
Jika harus dibandingkan, kami memang harus mengakui bahwa kami jauh lebih menyukai sisi presentasi cerita Little Hope dibandingkan Man of Medan. Supermassive Games sepertinya sudah belajar lebih baik soal cara mereka menyajikan cerita misteri yang lebih efektif untuk menarik perhatian. Masalah terbesar di Man of Medan? Bahkan dari sesi prolog saja, Anda sudah mengetahui bahwa kisah ini sama sekali tidak berhubungan dengan sisi supernatural. Sejak awal Anda tahu jelas bahwa besar kemungkinan semua horror yang terjadi karena paparan zat kimia yang menghasilkan efek halusinasi. Harus diakui, pengetahuan yang Anda dapatkan sejak awal cerita ini, membuat atmosfer horror Man of Medan sedikit terkikis.
Di Little Hope? Supermassive Games berhasil mempertahankan sensasi misteri tersebut dengan jauh lebih ketat dan efektif. Apalagi misteri yang ia tawarkan berujung pada hal-hal yang mustahil untuk bisa dijelaskan secara logis. Kita berbicara soal perjalanan waktu, dimana para penyihir yang tengah dituduh dan dihakimi di abad ke-17 Little Hope ternyata memiliki kemampuan untuk “menarik” karakter-karakter dari masa depan untuk berbicara dengan mereka. Kita berbicara soal bagaimana beberapa karakter ini berbagi wajah yang sama tanpa ada penjelasan lebih detail mengapa situasi ini bisa berakhir terjadi. Kita juga akan disajikan soal cerita keluarga salah satu karakter – Andrew yang secara “menakjubkan” juga berbagi wajah dengan karakter kelompok studi dan karakter dari masa abad ke-17 tersebut. Misteri ini disajikan berlapis, tanpa ada dihantui rasa terburu-buru untuk dibuka dan disajikan penjelasannya. Hasilnya adalah flow cerita horror yang lebih baik dan menarik dibandingkan Man of Medan.
Pertanyaan selanjutnya yang cukup menarik juga datang dari pendekatan Supermassive untuk Man of Medan. Seperti yang kita tahu, dari apa yang terjadi di game tersebut, sepertinya ada kesan bahwa keseluruhan “The Dark Pictures Anthology” didesain sedemikian rupa untuk memberikan penjelasan lebih rasional terkait kasus-kasus supernatural dan menghilangkan misteri tersebut di akhir. Dengan pendekatan misteri yang nyaris tidak bisa dilogika, ada rasa penasaran apakah Supermassive Games akan kembali menyuntikkan twist rasionalisasi nan ilmiah di akhir cerita? Ataukah ini akan bertahan menjadi cerita murni supernatural, berbeda dari Man of Medan? Itu juga akan jadi salah satu daya tarik kisah Little Hope ini.
Kesimpulan

Supermassive Games memang tidak menyuntikkan sesuatu yang revolusioner dengan The Dark Pictures: Little Hope. Ia masih mengusung identitas interactive story mereka, dimana opsi percakapan dan aksi QTE bisa menghasilkan konsekuensi signifikan, terutama yang mempengaruhi hidup mati karakter. Proses adaptasi gerak cerita, dari scene yang berubah, hilang, hingga yang menghasilkan cabang cerita baru juga tetap dihadirkan di sini dan tumbuh menjadi salah satu fitur memesona pendukung replayability. Walaupun demikian, bukan berarti Little Hope tidak menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda. Gaya bercerita horror yang jauh lebih baik dan kisah yang lebih menarik juga pantas untuk diapresiasi di atas beragam perbaikan mekanik yang sempat dikeluhkan dari seri sebelumnya. Little Hope di mata kami, jauh lebih menarik daripada Man of Medan.
Tentu saja ada beberapa kekurangan yang pantas dicatat dari game yang satu ini. Kita sudah berbicara soal transisi scene yang terkadang canggung hingga reaksi karakter yang tidak terasa cukup rasional saat berhadapan dengan situasi tertentu. Salah satu masalah lain juga, yang seringkali kami keluhkan dari banyak game horror, mengakar pada ketergantungan pada jump scare untuk memicu rasa “takut”. Sekali lagi, kami hendak menegaskan bahwa yang dihasilkan jump scare adalah rasa terkejut dan bukan takut. Sangat disayangkan bahwa seperti yang terjadi di Man of Medan, Little Hope masih menggunakan skema kemunculan visual tiba-tiba di layar dan suara kencang yang “meledak” dari kesunyian yang serupa. Jika Anda membuang semua scene jump scare ini, Little Hope akan terlihat seperti cerita sci-fi misteri alih-alih horror.
Maka di luar semua kekurangan tersebut, Little Hope sepertinya datang dengan pasar yang jelas – mereka yang menikmati game-game Supermassive Games di masa lalu, termasuk Man of Medan, dan menginginkan kualitas cerita yang lebih baik. Kali ini, dengan inspirasi yang jelas dan kuat, mereka yang “merindukan” Silent Hill mungkin bisa mendapatkan sedikit pemuas rasa dahaga di sini, walaupun tidak akan terlegakan secara penuh. Setidaknya, ini satu dari sedikit game yang tampil bak sang bukit sunyi.
Kelebihan

- Cerita dengan misteri yang menarik
- Replayability tinggi
- Desain monster yang keren
- Perbaikan mekanik dari seri Man of Medan
- Atmosfer dibangun cukup baik
- Musik yang mendukung
Kekurangan

- Transisi scene masih canggung
- Reaksi karakter pada situasi yang terasa tidak rasional di beberapa titik
- Masih terlalu mengandalkan jump-scare
Cocok untuk gamer: yang menginginkan game interactive story dengan sistem konsekuensi signifikan, yang mencintai game racikan Supermassive Games di masa lalu
Tidak cocok untuk gamer: yang mendambakan game yang horror-nya datang dari atmosfer, yang menginginkan sensasi ketakutan begitu intens hingga mengganggu kenyamanan tidur