10 Game Paling Mengecewakan di 2021!
-
Ninja Gaiden: Master Collection

Berharap banyak dari sebuah proyek Remaster memang adalah sebuah kesalahan besar di awal. Mengapa? Karena harus diakui bahwa yang diperlukan dari sebuah proyek “Remaster” hanyalah peningkatan tekstur definisi tinggi untuk membuatnya terasa lebih modern. Namun fakta bahwa beberapa developer berhasil menawarkan produk serupa dengan banyak perbaikan dan penyempurnaan, membuat kami menarup lebih banyak harapan di Ninja Gaiden: Master Collection. Sayangnya, ia berujung jadi proyek remaster “standar” yang mungkin membuat visualnya lebih bisa ditoleransi, namun sayangnya, dengan gameplay yang terasa benar-benar tua. Ninja Gaiden klasik adalah game yang butuh lebih banyak penanganan daripada sekadar mempertajam tekstur yang ada.
-
Destruction All-Stars

Menjadi salah satu andalan Sony saat memperkenalkan dan memamerkan Playstation 5 sebelum rilis, ada hype besar yang mengitari nama Destruction All-Stars yang dari segi trailer dan screenshot, memang terlihat menyenangkan. Kita bicara soal game balap berisikan mobil-mobil unik dengan kekuatan khusus yang diminta untuk bertubruk satu sama lain. Terlepas dari visualnya yang indah dan sensasi DualSense yang solid, Destruction All-Stars berujung jadi game multiplayer yang gampang basi. Ia tidak cukup kompetitif untuk diseriusi, tidak cukup menyenangkan untuk terus dinikmati, dan tidak cukup memiliki konten untuk terus menjaga komunitas yang sehat. Pada akhirnya, di setiap menit kami mencicipinya, hanya ada satu pertanyaan di benak kami, “Mengapa mereka tidak mengembangkan kembali Twisted Metal saja dengan developer dan engine yang sama?”
-
12 Minutes

Unik adalah kata yang tepat untuk menjelaskan 12 Minutes. Ia lahir dari bendera Annapurna Interactive yang seringkali memberikan ruang bagi developer untuk menguji beragam konsep cerita dan gameplay. Ia juga ditenagai oleh banyak aktor Hollywood sekelas Willem Dafoe sebagai pengisi suara, misalnya. Sayangnya, ketika game ini berakhir jatuh ke tangan kami sendiri, ia berujung tidak sememuaskan yang dibayangkan. Skala konten yang kecil berarti membuat cabang cerita yang bisa lahir dari aksi Anda terhitung terbatas dan tak sulit untuk dicapai dalam waktu yang singkat. Namun bagian terburuknya? Datang dari sisi cerita yang berujung terlalu absurd untuk bisa dinikmati dan mengundang lebih banyak tanda tanya.
-
eFootball 2022

Berani mengambil resiko. Siap untuk berhadapan dengan tuntutan masa depan. Tak lagi takut berhadapan dengan platform generasi terbaru. Reaksi-reaksi ini mungkin sempat hingga di benak gamer ketika mendengar bahwa Konami siap untuk mengganti engine game Pro Evolution Soccer teranyar mereka dari Fox Engine ke Unreal Engine. Tindakan penuh resiko tersebut juga ternyata diikuti dengan pergantian nama menjadi eFootball dan jalur distribusi free to play. Hasilnya? Alih-alih sesuatu yang revolusioner dan pantas untuk dirayakan, ia berujung jadi lelucon yang pantas untuk ditertawakan. eFootball 2022 datang dengan visual buruk, gameplay yang tak sesolid seri sebelumnya, konten yang terbatas karena sistem update berkala yang tidak datang secepat yang seharusnya, hingga beragam masalah monetisasi di dalamnya. Sejauh ini, eFootball 2022 tidak memperlihatkan tanda-tanda akan membaik ketika artikel ini dirilis.












