10 Game Paling Mengecewakan di 2022!

2022 adalah tahun yang cukup memanjakan dan unik bagi para gamer, apalagi dengan begitu franchise raksasa yang akhirnya menelurkan seri-seri teranyar mereka. Developer mulai memanfaatkan kemampuan konsol generasi terkini dengan optimal, dan developer indie secara konsisten mengeksplor konsep gameplay yang terhitung menyegarkan. Walaupun demikian, tidak sedikit pula yang justru hadir membawa lebih banyak kekecewaan daripada rasa puas. Game-game yang berujung tidak mampu memenuhi apa yang mereka janjikan sejak awal.
Semakin besar harapan, semakin pula besar kekecewaan yang bisa timbul, konsep ini mungkin paling tepat untuk menjelaskan salah satu kata yang kian sering diucapkan di industri game saat ini, Over-Hype. Dengan trailer dan screenshot yang dikemas sedemikian rupa, apalagi klaim dan janji para developer yang terus bergaung selama beberapa bulan sebelum rilis, tidak mengherankan jika gamer mulai membangun ekspektasi tertentu terhadap game yang mereka incar.
Namun sayangnya, kita sering lupa bahwa industri game tetaplah sebuah bisnis. Hype yang sudah terbangun manis, berujung pada angka pre-order yang manis. Namun sayangnya, tidak seperti dongeng dengan akhir cerita indah, gamer justru mendapatkan sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang mereka harapkan. Kekecewaan menjadi respon yang tepat.
Tapi ingat, MENGECEWAKAN BUKAN BERARTI BURUK. Hampir sebagian besar game yang dimasukkan ke dalam list ini adalah game-game yang masih bisa dinikmati, bahkan menawarkan kekuatan visual, gameplay, dan terkadang – cerita yang solid. Mengecewakan di sini hanya mengakar pada ketidakmampuan game-game ini untuk hadir dalam kualitas yang sepadan dengan hype yang sudah terbangun selama ini. Game-game yang sudah membuat banyak gamer berharap dan bermimpi, namun berakhir melemparkan semua energi positif ke tanah dan menginjak-nginjaknya tanpa ampun.
-
Bayonetta 3

Sebagai gamer yang cinta mati dengan Bayonetta dan Bayonetta 2, menemukan seri perdana yang berujung menghasilkan rasa kecewa mendalam alih-alih puas tentu saja menyedihkan untuk kami. Walaupun secara garis besar pengalaman sensasi action-nya masih sulit, ada banyak kebijakan dan keputusan yang diambil dari sisi cerita dan gameplay yang berujung membuat kami lebih berharap mereka kembali ke pakem dua seri sebelumnya. Sistem hub dengan dunia yang lebih terbuka tak terasa terbayar manis di sini, lengkap dengan pengenalan karakter baru seperti Violet yang sayangnya juga tak memuat sensasi bertarung yang sama solid-nya dengan Bayonetta. Konklusi cerita yang ia tawarkan? Justru menimbulkan lebih banyak rasa khawatir daripada senang. Semoga saja Platinum Games memang bisa membenahinya di seri-seri selanjutnya.
-
Ghostwire: Tokyo

Bayangkan sebuah game yang siap memuat kota Tokyo yang dramatis dengan detail di dalamnya, yang kini dipenuhi dengan makhluk-makhluk supranatural yang menyeramkan. Di atas kertas, Ghoswtire: Tokyo memang terdengar seperti sebuah game yang fantastis. Namun sayangnya, di luar eksekusi detail kota Tokyo yang memang berujung keren, banyak desainnya yang berujung mengecewakan. Kita bicara dari sistem pertarungan berbasis spell yang ternyata tak sedalam yang dibayangkan, yang kemudian diisi dengan misi collectibles ala game lawas yang repetitif dan membosankan. Varian jenis Yokai alias setan Jepang yang Anda bantai pun bisa dihitung dengan jari. Ini adalah sebuah seri potensial yang punya banyak ruang untuk disempurnakan sembari meninggalkan harapan untuk dibenahi di seri sekuel nantinya.
-
Digimon Survive

Alasan mengapa Digimon Survive masuk ke dalam daftar ini bukan karena kualitasnya sebagai game visual novel, tetapi minimnya komunikasi yang dilemparkan oleh Bandai Namco bahwa inti game ini adalah visual novel. Sebagai gamer yang masuk dan mengantisipasi bahwa inti dari seri ini adalah sebuah game strategi, kondisi ini tentu saja mengejutkan. Bahwa alih-alih terus bertarung dan bertarung, yang Anda temukan adalah ratusan baris dialog yang menemani dari satu pergantian chapter ke chapter yang lain. Permasalahan lain? Terlepas dari cerita Digimon-nya yang cukup solid, dimana ia hadir dengan tema dewasa dan gelap pula, presentasinya kebanyakan dihiasi oleh karakter-karakter dua dimensi yang berdiri terdiam sembari melemparkan dialog panjang, tanpa animasi, tanpa banyak ekspresi, tanpa banyak dramatisasi terjadi. Kebosanan adalah masalah terbesar Digimon Survive.
-
Overwatch 2

Ketika seri pertamanya dirilis, ia berujung dipuja-puji. Merebut banyak penghargaan GOTY di kala itu, Overwatch bahkan berhasil menginspirasi dan mengubah desain banyak game FPS di kala itu, yang tiba-tiba berganti format menjadi hero shooter termasuk Call of Duty. Ketika sang seri kedua diperkenalkan, Blizzard di kala itu menjanjikan PvP sebagai konten baru yang mendefinisikannya, lengkap dengan perkembangan hero spesifik untuk mode tersebut. Namun apa yang terjadi? Alih-alih sesuatu yang revolusioner dan fantastis, Overwatch 2 datang bak sekadar penambahan konten dari Overwatch 1 dengan mode kompetitif sebagai fokus. Parahnya lagi? Sistem lootbox diganti dengan sistem battle pass yang sama sekali tidak terasa memuaskan dan rewarding. Ia berubah menjadi sebuah game mulitplayer yang mungkin hanya mencuri perhatian Anda selama 10 jam pertama dan kemudian berujung Anda abaikan setelahnya apalagi jika Anda sudah menghabiskan waktu dengan Overwatch pertama.