Review DOTA 2 (Edisi 10 Tahun): Masih Ketagihan!
Monetisasi yang Bisa Ditoleransi

Valve memang harus diakui merupakan salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan dua buah konsep konten yang berujung sangat dibenci ketika dilakukan oleh developer lain: item kosmetik berbayar dan Battle Pass. Item kosmetik berbayar yang mereka implementasikan via Team Fortress 2 di masa lalu berujung menjadi sebuah hal lumrah yang kini diterima dan bahkan dibilang merupakan salah satu contoh implementasi teknologi “NFT” pertama di dunia. Sementara untuk Battle Pass? Pertama kali diperkenalkan di DOTA 2 untuk mendorong jumlah total hadiah di The International, ia juga kemudian mulai diuji coba oleh banyak game yang lain. Berita baiknya? DOTA 2 setidaknya mengeksekusi kedua hal ini dengan baik.
Selama 10 tahun menggunakan sistem monetisasi yang serupa, acungan dua jempol memang pantas diarahkan pada komitmen dan konsistensi Valve untuk memastikan tidak ada satupun item digital berbayar ini memang berpengaruh pada performa in-game Anda. Semuanya adalah item kosmetik yang sama sekali tidak akan membuat Anda lebih jago ataupun mahir di dalam pertempuran. Varian yang disuntikkan juga kian beragam, dimana tidak hanya Arcana yang mengubah banyak tampilan skill berbeda,mereka kini juga menambahkan kategori baru seperti Persona yang bahkan berujung mengubah tampilan model secara keseluruhan seperti Crystal Maiden yang kini bahkan punya Persona sebagai seekor anjing.
Walaupun demikian, harus diakui, bahwa seiring dengan usianya yang menua, setidaknya di The International 2022 kemarin, “kerakusan” Valve memang mulai terlihat. Dengan harga Battle Pass yang semakin tinggi atau tetap, konten kosmetik yang direncanakan dan dipersiapkan oleh Valve memang tidak sepadat tahun-tahun sebelumnya. Tidak mengherankan juga bahwa di situasi seperti ini, Valve berujung gagal mempertahankan rekor beruntut prize pool The International yang terus meningkat dari tahun ke tahun hingga di satu titik, ia pernah menyentuh angka puluhan juta USD yang terhitung fantastis. Terlepas dari kritik yang ada, namun ada satu hal yang tetap harus diingat –bahwa setidaknya semua item ini tetap dipastikan bukan sesuatu yang “harus” Anda miliki. Mereka tetap muncul sekadar opsi.

Keluhan lain yang mungkin pantas dibicarakan juga mengarah pada fleksibiitas desain kostum dan item kosmetik dari Valve yang harus diakui, kian renggang seiring dengan usia DOTA 2 yang menua. Di awal-awal eksistensinya, Valve punya syarat dan ketentuan yang benar-benar ketat, dimana item kosmetik untuk hero misalnya harus berbagi dasar kombinasi warna yang sama dan tetap membuatnya harus tetap dikenali langsung hanya dari sekilas pandang saja. Syarat ini memang harus diakui tidak lagi berlaku yang membuat kami di satu titik bahkan sempat bingung apakah hero yang kami lawan adalah Viper atau Dragon Knight dalam mode naga-nya.
Valve sendiri memang sudah mengungkapkan ketertarikan untuk mulai menjauh dari sistem Battle Pass yang sudah menjadi “bahan bakar” turnamen utamanya – The International selama 10 tahun terakhir ini. Dengan rasa penasaran dan optimisme yang sama tingginya, kami yakin ia tetap akan datang dengan mekanisme monetisasi serupa yang sama beradabnya.
DOTA 2 Setelah 10 Tahun, Masih Pantaskah?

Dengan semua yang kami bicarakan di atas, sepertinya jelas bahwa kami akan menjawab “Iya” untuk pertanyaan di atas, terutama untuk gamer-gamer veteran yang sempat meninggalkannya. Bahwa kompleksitas yang diusung olehnya justru mampu bertahan menjadi daya tarik alih-alih menjadi sesuatu yang membuat kita berpaling ke game MOBA yang lain. Apalagi jelas lewat beragam update yang secara konsisten meluncur dan mengubah dinamika serta meta yang ada, DOTA 2 tidak pernah gagal terasa menyegarkan dan menantang di saat yang sama. Bahwa terlepas dari fakta bahwa Anda sudah 10 tahun mencicipinya, Anda masih jauh dari kata “menguasainya”.
Tapi apakah sempurna? Tentu tidak. Usia yang sudah menginjak 10 tahun tidak lantas membuat pekerjaan Valve selesai. Pertama, mereka benar-benar harus mencari cara untuk merekrut gamer-gamer pendatang baru untuk memastikan komunitas tetap hidup dan aktif.
Karena harus diakui dibandingkan dengan sang kompetitor utama – League of Legends, DOTA 2 memang terasa “malas”. League of Legends dihujani dengan begitu banyak konten orang awam seperti trailer sinematik hingga Idol Group sekelas K/DA yang harus diakui efektif. Valve memang sempat meracik anime DOTA 2 bersama Netflix, namun langsung tenggelam lewat rilis ARCANE dari Riot Games yang lebih superior dari segala sisi. Valve tidak bisa seperti ini terus-menerus, diam dan diam sembari berharap DOTA 2 tumbuh dan berkembang tanpa ada aksi yang lebih radikal.
Lantas, bagaimana denga Anda sendiri? Bagaimana pendapat Anda soal DOTA 2 setelah 10 tahun terakhir menikmatinya?