Review Like a Dragon Gaiden: Seperti Sebuah Mimpi!
Seperti Sebuah Mimpi

Membaca sub-judul kami di atas – “seperti sebuah mimpi” mungkin akan memunculkan dua jenis pemahaman. Pertama, yang mengira bahwa kalimat ini adalah sesuatu yang positif, karena kata “mimpi’ biasanya identik dengan harapan atau sesuatu yang sulit untuk tercapai. Berita buruknya? Kami memilih sub-judul di atas tidak atas dasar pemahaman pertama tersebut. Judul tersebut kami pilih karena alasan kedua – karena keseluruhan pengalaman Like a Dragon Gaiden memang terasa seperti sebuah mimpi alias sesuatu yang terasa tidak pernah terjadi di dunia nyata. Terdengar absurd? Berikan kami kesempatan untuk menjelaskannya.
Sebagai sebuah game action yang ceritanya penuh dengan intrik drama, posisi Like a Dragon alias Yakuza memang terhitung aneh dan unik, hingga ia seringkali berujung dijadikan meme. Bahwa di satu sisi, ia selalu datang dengan sebuah cerita soal organisasi kriminal bawah tanah Jepang yang serius, gelap, dewasa, dan keren di saat yang sama. Konsep ini kemudian seringkali “bertabrakan” alias bertolakbelakang dengan konten yang lain, dari sekadar misi sampingannya yang penuh dengan cerita-cerita absurd hingga ragam aktivitas menyita waktunya yang lebih terlihat ceria dan menyenangkan. Namun terlepas dari “konten sampingan” tersebut, setiap seri Yakuza / Like a Dragon tetap berhasil mempertahankan keseriusannya tersebut. Namun sensasi yang berbeda justru terjadi dengan Like a Dragon Gaiden ini.
Bahwa alih-alih tengah memainkan petualangan Kiryu selanjutnya, Anda justru seolah-olah tengah menikmati mimpi yang tengah dilalui seorang Kiryu yang entah sedang tertidur di mana. Mengapa? Karena absurditas yang ia tawarkan mulai berujung menembus dan melebur batas-batas logika yang seharusnya tetap terjaga di cerita utamanya. Salah satu contohnya? Teknologi.
Bahwa sulit sekali untuk menebak di tahun berapa sebenarnya Like a Dragon Gaiden ini terjadi jika hanya berkaca pada teknologi yang ia perlihatkan. Dari sisi Kiryu, gadget yang bisa ia gunakan hampir seluruhnya tak masuk akal untuk eksis di tahun dimana ia diceritakan. Sebuah tali ajaib yang bisa mengikat seseorang dari jauh dan bahkan bisa Anda tarik untuk membuat mereka terlempar? Sepatu super cepat yang membuat Anda bisa bak tengah melakukan skating di atas aspal dengan efek api mengikutinya? Lebih buruknya lagi adalah fakta bahwa bukan sekadar di gameplay, Kiryu juga menggunakan alat-alat ini di cut-scene cerita.


Masih belum cukup? Absurditas tersebut kemudian juga melebur ke varian musuh yang Anda hadapi di sepanjang cerita. Bayangkan saja betapa terkejutnya kami ketika di salah satu titik cerita, ketika kami berjuang untuk menundukkan para anggota Daidoji dan berujung menemukan ternyata salah satu karakter tersebut menggunakan sarung tangan ala Shocker di semesta Spider-Man. Benar sekali, teknologi di lengan tersebut bisa ia arahkan untuk menembakkan sejenis proyektil yang juga menghasilkan area damage. Kami tak bisa dipungkiri berujung mengernyitkan dahi dan terus bertanya-tanya soal seberapa besar niat sang developer untuk tetap membuat seri Like a Dragon ini tetap berpijak pada dunia nyata atau tidak.
Cita rasa “seperti mimpi” tersebut juga kemudian kami temukan pada inkonsistensi yang terjadi pada kepribadian dan keputusan aksi Kiryu di salah satu cut-scene yang memang seharusnya dihitung canon franchise. Anda yang sempat mengenal sepak terjang Kiryu selama berseri-seri ini tentu paham bagaimana sang Naga Dojima ini berusaha untuk menyelesaikan konflik yang ada dengan hanya pukulan dan tendangan yang ia miliki. Bayangkan betapa terkejutnya kami ketika di salah satu cut-scene, Kiryu berujung melompat menyusuri atap, menggunakan pistol untuk menembak tiga orang berbeda hingga mereka terluka berdarah, dan kemudian turun bak aktor laga film aksi dengan menggunakan gadget tali yang ia miliki. Ini membuat kami terus bertanya, “apakah ini memang sudah Kiryu yang baru dan berbeda dengan Kiryu yang selama ini kita kenal?”.

Kemudian ikonsistensi cerita tersebut semakin diperparah dengan cara Kiryu memperlakukan banyak orang yang ia temui seperti layaknya anak-anak. Bayangkan saja, ia berusaha menggunakan identitas baru bernama Joryu dengan hanya sekadar berganti pakaian jas dan kacamata hitam. Ia tetap mempertahankan gaya rambut, gaya bicara, gaya bertarung, hingga gayanya menyelesaikan ragam masalah. Ketika karakter NPC tahu bahwa ia Kiryu? Kiryu terus mengulang-ngulang dan berusaha mendorong identitas Joryu miliknya, yang di batas itu, harusnya tidak ada lagi yang bisa mempercayainya. Apakah Kiryu ataupun Daidoji memang sebodoh itu? Bagaimana mungkin mereka tidak berpikir untuk mengganti penampilan Kiryu atau sekadar memindahkannya ke kota lain jika setiap musuh atau pihak yang bertemu dengan Joryu kebanyakan berhasil menyimpulkan jika ia Kiryu? What the..
Hal-hal seperti ini harus diakui membuat kami berujung bertanya-tanya. Apakah ini memang sengaja dilakukan karena Like a Dragon Gaiden adalah seri spin-off dan sepantasnya bersenang-senang? Ataukah ini adalah tanda-tanda awal berubahnya identitas Like a Dragon dari sebuah cerita drama kriminal serius untuk jadi cerita aksi fantasi yang penuh fiksi? Namun jika pilihan terakhir ini yang diambil, mengapa mereka tetap menyertakan scene Kiryu menangis di akhir cerita yang juga berhasil membuat hati kami bergetar? Kami benar-benar penasaran apa yang ada di otak Ryu Ga Gotoku saat ini.
Kesimpulan

Seperti yang sempat diklaim oleh Ryu Ga Gotoku sendiri, Like a Dragon Gaiden adalah sebuah seri sampingan dengan skala lebih kecil yang setidaknya di mata kami, berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Bahwa dari sisi cerita, ia berhasil menyambungkan nasib Kiryu antara seri keenam dan ketujuh sekaligus pondasi di seri selanjutnya sembari menawarkan cita rasa klasik game action-nya yang penuh misi sampingan dan ragam aktivitas menyenangkan. Hadir dengan gaya bertarung baru – Agent yang fun, kesempatan untuk mengencani karakter hostess dengan format film live-action juga sesuatu yang kami sambut dengan tangan terbuka. Kesemuanya mengalir dan menyatu dengan sistem baru seperti Akame Network yang tetap mampu menawarkan kesibukan ekstra di luar misi utama.
Walaupun demikian, Like a Dragon Gaiden sendiri bukanlah sebuah seri yang sempurna. Salah satu keluhan terbesar yang bisa kami hadirkan adalah “sensasi seperti mimpi” yang terlalu kentara di banyak sudut ketika mencicipinya. Bahwa untuk sebuah franchise yang terkenal karena kemampuannya meracik cerita drama nyata yang gelap, misterius, dan keren, apa yang ditawarkan oleh Like a Dragon Gaiden justru kian menariknya ke ranah fiksi. Inkonsistensi karakter yang diperlihatkan Kiryu, inkonsistensi jenis teknologi yang terhitung canon jika mengingat bagaimana ia muncul di cut-scene penting, hingga cara Kiryu memperlakukan “penyamarannya” benar-benar membuat kami berujung lebih banyak bertanya daripada terpuaskan. Keluhan lainnya juga datang dari tingkat encounter yang terlewat tinggi untuk sebuah kota yang kini ukurannya lebih kecil.
Namun di luar kelemahan tersebut, Like a Dragon Gaiden tetap menjadi seri Like a Dragon yang tetap menarik untuk dijajal, apalagi jika Anda tengah mempersiapkan diri untuk menyambut lebih banyak seri ini di masa depan. Ia tetap seru dan menyenangkan, namun kini dengan ekstra inkonsistensi yang antara berujung mengganggu atau justru membuatnya kian Anda nikmati.
Kelebihan
Sesi kencan datang dalam format live-action dengan ekstra pakaian seksi
Kson sebagai salah satu sosok yang bisa Anda kencani
Gaya bertarung AGENT hadir unik dibandingkan gaya-gaya Kiryu yang lain selama ini
Cerita tetap berhasil mengundang rasa penasaran
Voice acting Jepang dengan kualitas superb
Beberapa Misi sampingan via Akame Networks punya cerita menarik
Aksi bertarung di Coliseum cukup seru
Ending yang menyentuh
Kekurangan

Inkonsistensi membuat keseluruhan pengalaman ini terasa seperti mimpi
Tingkat encounter terlalu tinggi
Daidoji tidak terasa seperti organisasi rahasia yang “rahasia”
Cocok untuk gamer: yang menantikan Infinite Wealth, masih merasa tak cukup dengan sosok Kiryu
Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan Kiryu beristirahat, yang menginginkan pengalaman “Yakuza” yang masih berpijak pada kenyataan