Review Dragon Age – The Veilguard: Seru Tanggung karena Canggung!
Physics Rambut Terbaik di Industri Game!

Sisi presentasi yang ditawarkan EA dan Bioware di Dragon Age: The Veilguard memang sedikit berbeda dengan apa yang mereka tawarkan di masa lalu, terutama untuk dua seri pertama Dragon Age. Jelas bahwa gaya visual utama yang ditawarkan memang meminjam cita rasa yang lebih mirip dengan Fable dengan sensasi “kartun” lebih kental daripada sesuatu yang didesain untuk tampil sebagai sebuah dunia fantasi super realistis. Situasi ini juga mempengaruhi gaya desain untuk beberapa elemen yang lain, termasuk ras Qunari yang sempat tampil super garang di Dragon Age 2. Mereka kini tampil dengan desain wajah yang lebih mirip manusia.
Di luar apakah pendekatan seperti ini bisa Anda terima atau tidak, setidaknya ia tidak lantas mencabut keseriusan dunia dan cerita gelap yang hendak ditawarkan oleh Bioware. Tidak akan ada kehadiran efek suara dan efek pukulan ala film kartun di sini misalnya, yang mungkin mengingatkan Anda pada film Looney Tunes misalnya. Dragon Age: The Veilguard tetap hadir sebagai sebuah cerita fantasi gelap yang tidak ragu untuk mengekspresikan kengerian dari begitu banyak kematian, manipulasi, serta konspirasi, baik dari sekadar dialog ataupun visual. Blight yang notabene sudah jadi “musuh” para fans Dragon Age untuk waktu yang sangat lama kini bahkan tampil lebih menjijikkan lagi.

Pendekatan seperti ini mungkin membuat Frostbite Engine yang mereka jadikan basis terasa tidak maksimal. Namun tenang saja, Bioware tetap menawarkan banyak ruang untuk memamerkan seberapa mumpuninya engine proprietary milik EA tersebut di Dragon Age: The Veilguard. Selain efek tata cahaya di ragam lingkungan yang ada untuk sensasi atmosfer yang tepat, salah satu efek lain yang paling memesona adalah physics rambut yang ia usung. Anda yang memilih untuk meracik karakter dengan varian rambut panjang dan teruai akan disambut dengan salah satu physics rambut terbaik di industri game saat ini. Anda bisa memerhatikan detail setiap helai, bagaimana mereka bergerak bebas dan akurat sesuai dengan gerak karakter, dengan minim efek clipping bahkan untuk ragam kostum dan senjata yang Anda gunakan sekalipun. Untuk urusan yang satu ini, sulit rasanya untuk tidak terpesona dengan apa yang ditawarkan Frostbite di sini.
Sayangnya, cerita juga membuat Dragon Age: The Veilguard tidak banyak bisa menawarkan alternatif untuk ragam monster yang akan Anda hadapi di sepanjang perjalanan. Pada akhirnya, sesuai dengan cerita yang ia usung, Anda akan berhadapan dengan varian musuh yang terhitung sedikit dari sisi desain, namun beberapa diposisikan unik lewat “nama” yang kini ia bawa saat bertarung, memosisikannya sebagai unit musuh yang spesial. Selain dua faksi pembantu para Elven Gods ini, Anda akan bertemu dengan beberapa varian iblis dari Fade. Tentu saja, puncak pertarungan yang paling seru tetap terletak di ragam skenario melawan para naga, baik yang datang dari cerita utama atau sekadar opsional semata. Untuk urusan terakhir ini, ia tak pernah gagal terasa epik.

Sementara untuk urusan audio, di luar OST yang sayangnya tidak sebegitu spesial di telinga kami, hampir setiap VA yang ditawarkan Dragon Age: The Veilguard menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Di luar kualitas cerita dan dialog yang nanti akan kita bicarakan, hampir setiap VA ini berhasil memastikan karakter mereka berdiskusi, bersuara, dan bercerita dengan gaya senatural yang mereka bisa. Tentu saja, kualitas suara mereka juga di mata kami, berhasil mengangkat kepribadian mereka yang berbeda-beda. Untuk sebuah game action RPG yang mementingkan hal seperti ini, setidaknya elemen yang satu ini ter-cover dengan sangat baik.
Canggung dan Problematik

Sebelum kita terjun lebih jauh untuk membahas salah satu aspek terbaik Dragon Age: The Veilguard – gameplay, ada baiknya kita membicarakan lebih dahulu dua elemen esensial untuk sebuah game RPG apalagi dengan tema fantasi yang ia usung. Benar sekali, cerita dan karakter. Dua elemen yang seharusnya berujung istimewa dan jadi daya tarik ini justru berujung dieksekusi standar dan bahkan, di bawah standar.
Mengikuti pakem desain cerita mereka selama ini, Dragon Age: The Veilguard tetap datang dengan sistem opsi percakapan dan konsekuensi respon untuk membantu merangkai kepribadian karakter utama dan relasi seperti apa yang Anda inginkan. Namun tidak seperti sistem “moral” di Mass Effect yang terbagi ke dalam dua kategori : Paragon dan Renegade yang nantinya akan mempengaruhi sisi cerita dan gameplay, Dragon Age: The Veilguard datang dengan desain yang sangat dangkal. Bahwa sebagian besar opsi percakapan yang bisa Anda ambil, sebagai pembuka atau respon dari reaksi karakter lain, berujung tak berkontribusi apapun secara signifikan. Seperti kasus Bethesda di Fallout 4, hampir semua respon yang tersedia ini hanya berbeda di sisi “intensi” saja, namun tetap berujung di satu reaksi yang tetap. Yang membuatnya sedikit berbeda hanya opsi-opsi percakapan yang berhubungan dengan sisi romansa.

Untuk membuat kisah fantasi ini kian menarik dan dalam, Bioware juga mendesain sebuah cerita dan konflik untuk setiap karakter yang ada, yang bisa Anda “kejar” sebagai misi sampingan dengan reward penguatan istimewa sang karakter di akhir. Fakta bahwa setiap karakter ini muncul dari faksi dan kota-kota yang berbeda satu sama lain, ini menjadi sebuah pendekatan potensial yang bisa digunakan Bioware untuk membuat game ini semakin menarik lagi. Namun apa yang terjadi? Semua cerita yang ditawarkan di tiap karakter ini berujung punya plot dan resolusi yang mirip satu sama lain. Bahwa terlepas dari apapun konflik ataupun tema-nya, setiap cerita untuk karakter ini punya satu tokoh antagonis akhir yang diposisikan sebagai sumber semua masalah dan sepantasnya, ditundukkan. Bahkan cerita untuk karakter seperti Bellara yang seharusnya lebih personal karena berkutat pada pengkhianatan sang adik tetap berujung pada jenis konflik dan resolusi seperti ini. Situasi ini membuat perbedaan setting atau tema konflik tiap karakter yang berbeda-beda menjadi tak punya pengaruh apapun. Kisah-kisah ini berujung mirip satu sama lain.
Namun, salah satu masalah penulisan karakterisasi paling problematik harus diakui terletak pada salah satu karakter companion bernama Taash. Jika Anda cukup mengikuti JagatPlay selama ini, kami termasuk gamer yang tidak terlalu berkeberatan dengan konten LGBT dari developer barat selama ia memang dibungkus dengan cerita yang kuat atau karakter yang menarik. Kami selalu berdiri di atas kesimpulan bahwa hadirnya konten LGBT seperti ini adalah representasi dari lapisan masyrakat darimana si tim developer berasal, dimana sebagian besar dari mereka memang datang dari Amerika Serikat, terutama dari wilayah California yang memang condong ke “Kiri”. Oleh karena itu, terlepas dari apakah ia sejalan atau tidak dengan nilai konservatif Indonesia, ia sama sekali tidak punya pengaruh. Menghadirkan konten LGBT dan merasa bahwa ia adalah isu yang penting untuk diangkat atau tidak, atau sekadar jadi bagian dari karakterisasi sepenuhnya merupakan wewenang si penulis cerita. Tetapi sulit untuk mengabaikan apa yang dilakukan Bioware dengan karakter Taash ini.
Mengapa? Karena untuk alasan yang tidak jelas, karakter ini ditulis dengan gaya dan pendekatan yang menjengkelkan sebagai karakter LGBT. Taash yang notabene merupakan karakter Qunari pembasmi naga yang masih berada di usia remaja ini akhirnya memutuskan untuk mendefinisikan dirinya sebagai karakter non-binary karena ia sendiri tidak nyaman untuk menentukan dirinya apakah perempuan atau laki-laki. Situasi ini lantas meninggalkan lebih banyak momen canggung daripada sesuatu yang emosional atau dirasa penting. Ada bebeapa alasan mengapa kami berfokus di penulisan karakter yang satu ini.
Pertama? Karena dunia fantasi yang tengah dieksplorasi Dragon Age: The Veilguard ini sebenarnya punya konflik, cerita, atau budaya yang lebih menarik untuk dikisahkan daripada fokus pada status non-binary karakter Taash ini. Menghadirkan sebuah kisah remaja yang bingung soal seksualitas-nya sendiri di tengah sebuah kondisi dunia yang tengah berada di ambang kehancuran, di tengah kebingungan identitasnya pula sebagai Qunari yang terputus dari budayanya, dan di tengah fakta bahwa ia termasuk Qunari yang “istimewa” karena kemampuannya untuk menyemburkan api terasa begitu absurd dan tidak menarik. Kami tidak bermasalah jika Taash berbicara bahwa dirinya adalah non-binary jika Dragon Age: The Veilguard berujung mengeksplorasi sisi budaya atau konflik lebih menarik terkait sang karakter daripada soal seksualitasnya itu sendiri. Untuk sebuah cerita fantasi, ia terasa sangat canggung.


Kedua dan bagian terburuknya? Bioware seolah tidak mengertiapa yang harus dilakukan dengan karakter ini sehingga “kepribadian” dan daya tariknya terpusat pada seksualitas dan pilihan non-binary-nya ini. Ketika Anda membawa Taash dalam proses eksplorasi misalnya, Anda tidak akan kesulitan menemukan dialog-dialog Taash dengan companion lain yang tetap berkutat pada soal seksualitas-nya ini, seolah-olah Qunari yang satu ini tak punya banyak hal untuk dibicarakan selain soal identitas seksualnya. Kami sempat membawanya bersama dengan Lucanis dari faksi The Crow dan pertanyaan pertama Taash ke karakter ini adalah soal apakah eksis orang-orang non-binary di organisasi pembunuh super efektif dari Treviso ini. Mengapa harus seperti ini, Bioware?
Karena ketika situasi yang sama diaplikasikan ke game-game dengan konten LGBT di dalamnya seperti The Last of Us Part II misalnya, Anda akan merasakan ketimpangan yang begitu besar soal cara menulis karakter dengan seksualitas tertentu yang sesungguhnya. Ellie yang notabene merupakan seorang lesbian misalnya, tidak pernah punya karakterisasi atau kepribadian yang terikat pada seksualitas-nya tersebut. Ia tidak pernah terus membicarakan soal “kelesbian-an”-nya dengan Joel misalnya dengan pilihan kalimat, respon, atau reaksi yang kekanak-kanakan. Joel memahami seksualitas Ellie, menerima hal tersebut, dan mencintainya bak anaknya sendiri, yang juga mendorong Ellie untuk merasa bahwa sisi LGBT-nya di dunia yang menuju kehancuran ini adalah sesuatu yang bisa diterima oleh orang yang juga ia cintai. Sekarang bayangkan jika Ellie kemudian ditulis dengan gaya Dragon Age: The Veilguard? Pernahkah Anda membayangkan situasi dimana Ellie berpetualang dengan companion lain seperti Jesse misalnya dan kalimat pertanyaan yang keluar dari mulutnya pertama kali adalah, “Hey Jesse, kamu pernah punya teman lesbi selain aku gak?”. Bayangkan kecanggungan yang terjadi.
Bioware, khususnya tim penulis mereka di titik ini seharusnya mulai harus belajar bagaimana cara menulis karakter seperti Taash dengan porsi yang sesungguhnya. Bahwa jangan sampai ada karakter yang berujung punya kepribadian, keunikan, dan beragam quirk yang seolah-olah tercipta karena seksualitas-nya itu sendiri.
Salah satu contoh terbaik untuk penulisan karakter LGBT terbaik dalam setahun terakhir ini justru datang dari anime / manga Jepang – SKIP AND LOAFER di mata kami. Menjadi bibi untuk salah satu karakter utamanya, Anda berhadapan dengan karakter transgender bernama Nao / Naoki yang berperan sebagai seorang stylist. Tinggal di negara yang cukup konservatif seperti Jepang, SKIP AND LOAFER (setidaknya di versi anime) tidak pernah sekalipun mendefinisikan karakter Nao ini dari seksualitas yang ia miliki. Dari setidaknya 12 episode di season pertama, hanya ada dua momen berkisar 1 menit dimana seksualitasnya dipertanyakan. Pertama ketika ia dikomentari punya bahu seperti laki-laki oleh anak sekolah yang kebetulan naik di kereta yang sama. Kedua? Ketika ia harus terbuka mengakui bahwa ia secara biologis masih laki-laki untuk memastikan acara event pesta piyama keponakan wanitanya yang ia sayangi tidak berujung mengejutkan. Hasilnya? Tidak ada kecanggungan sama sekali yang hadir dari karakter Nao. Ia berdiri sebagai karakter yang melebihi seksualitasnya, bahwa ia punya kepribadian yang unik dan menarik yang tidak berhubungan dengan seksualitasnya pula. Bioware perlu belajar banyak di sini.

Oleh karena itu, sulit rasanya untuk tidak mengakui dan menyayangkan bahwa untuk sebuah game RPG yang berfokus pada cerita dan karakter, Dragon Age: The Veilguard justru gagal bersinar di sini. Padahal, kami harus mengakui bahwa untuk porsi cerita utamanya, terutama yang berhubungan dengan karakter Solas, dieksplorasi dengan cukup baik. Walaupun harus diakui juga, menyederhanakan event-event yang bisa mengubah hasil akhir cerita dan karakter sebagai sekadar pilihan di beberapa titik saja berujung sedikit mengecewakan. Kekecewaan yang entah berdasar karena sekadar ekspektasi berlebihan mengingat game seperti Baldur’s Gate 3 kini tersedia di pasaran atau memang karena kualitas penulisan Bioware yang kini terhitung menurun. Satu-satunya karakter yang berujung membuat kami jatuh hati justru seorang tengkorak butler tanpa banyak bicara – Manfred yang cukup mudah untuk membuat hati Anda luluh.