JagatPlay NgeRacau: Kasus Audrey dan Bahaya Laten PUBG!
Correlation Does Not Imply Causation

Satu logika yang gua sempat bahas di masa lalu dan kembali terjadi adalah kesalahpahaman perspektif ketika misalnya, video game “tertangkap” di dalam kasus-kasus kekerasan yang terjadi. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di barat. Bahwa yang seringkali muncul adalah tidak sekedar “mengasosiasikan” saja, tetapi juga melihat video game sebagai sebab dan kekerasan yang terjadi sebagai akibat. Padahal, logika seperti ini adalah keliru. Kalimat bijaknya selalu satu dan hanya ini satu yang dipegang – Correlation does not imply causation.
Bahwa korelasi tidak berarti kausalitas alias sebab-akibat. Mari kita bicara dengan contoh paling jelas dan paling mudah dimengerti. “100% ORANG YANG MINUM AIR PUTIH PASTI MATI”. Secara statisik ini adalah sebuah fakta yang tidak bisa dibantah. Bahwa memang, 100% orang yang minum air putih pasti mati. Ada korelasi di sini, bahwa semua orang yang mati dan akan mati PASTI pernah minum air putih di dalam jangka hidup mereka. Ada satu faktor yang ngikat mereka semua, yakni – aktivitas minum air putih.
Tetapi apakah ini berarti AIR PUTIH PENYEBAB ORANG MATI? Udah pasti kagak. Bahwa terlepas dari betapa otak kita semua ingin menghubungkannya dan meracik sebuah COCOKLOGI sampah, peraturannya tetap sama – Correlation does not imply causation. Bahwa ada begitu banyak faktor yang berpengaruh pada kematian seseorang. Kalau “air putih” adalah faktor yang sering muncul, penelitian lebih lanjut perlu dilakuin dengan kontrol lebih baik untuk mendefinisikan APAKAH MEMANG AIR PUTIH ADALAH PENYEBAB MANUSIA MATI. Perlu dibentuk 2 kelompok dalam jangka penelitian panjang – dimana satu kelompok hanya minum Jus Orange saja dan satu kelompok hanya minum air putih saja sepanjang hidup mereka. Namun agar hasil valid dan bisa ditemukan “HUBUNGAN SEBAB AKIBAT” perlu dilakukan kontrol lebih ketat untuk meminimalisir kemungkinan efek lain seperti kualitas makanan, jam tidur, kondisi ruangan, jenis hiburan, bahkan riwayat penyakit keturunan orang tua. Untuk bisa mencapai hal tersebut memang bukan hal mudah dan butuh proses ilmiah yang panjang.
Percaya atau tidak, hal ini jugalah yang sempat terjadi pada kasus kekerasan “BERDASARKAN VIDEO GAME” yang terjadi di dunia, termasuk yang baru disoroti Indonesia belakangan ini. Bahwa media awam seringkali berujung menyalahkan video game dan menjadikannya sebagai kambing hitam paling mudah terlepas bahwa ada banyak faktor lain yang sebenarnya mempengaruhi. Kasus sama yang sempat harus dilalui banyak musik metal di era tahun 80’an sebelum video game muncul menjadi kambing hitam yang baru. Apakah pelaku kekerasan ini juga korban KDRT di rumah? Apakah mereka secara psikologis tidak stabil? Apakah mereka lahir di lingkungan sosial ekonomi yang menjadi kekerasan sebagai solusi? Apakah mereka juga terinspirasi dari musik atau film yang mereka nikmati? Apakah mereka tergabung dalam organisasi yang punya agenda politik tertentu? Apakah mereka juga memainkan game lain di luar game penuh kekerasan yang mereka jajal? Ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi.

Gunaiin logika yang sama, aksi MUI untuk mengharamkan PUBG sebagai “reaksi” atas kasus kejahahatan kemanusiaan yang terjadi dI Christchurch dan menewaskan 50 Muslim yang berusaha mendekatkan diri pada Tuhan itu adalah sebuah penyederhanaan masalah kompleks yang menurut gua pribadi, salah langkah.
Mengapa? Karena yang hendak dikesankan di sini adalah si pelaku bajingan ngelakuin ini semua atas nama pengen “NGEREKA ULANG PUBG” atau “TERPENGARUH PUBG”, yang notabene bukan motivasi sama sekali. Si bajingan ini jelas seorang white-nationalist yang anti-imigran, punya Islamophobia, yang ngelakuin ini semua untuk dapetin perhatian dunia dan sosial media. Kita ngobrolin soal pembunuh yang nge-share aksinya via Facebook Live, man! FACEBOOK LIVE! Platform sosial media yang bahaya latennya justru lebih kenceng, apalagi dengan share hoax dan komunitas rasis dan anti-toleransi di sana-sini. Tapi yang diharamkan? PUBG. Gua gak dapat logikanya dimana. Sementara ada ratusan juta gamer PUBG dan PUBG Mobile di seluruh dunia yang hidup kayak masyarakat pada umumnya. Lu tahu, dengan kondisi kayak gini, udah seharusnya dipikirin, “Hmmm.. mungkin masalahnya bukan di PUBG-nya, tapi orangnya”.
Tapi yang terus didorong adalah logika keliru bahwa korelasi seolah-olah adalah kausalitas. Memang sih menyalahkan video game akan selalu menyederhanakan semua masalah yang sebenarnya kompleks. Pertanyaannya, mau sampai kapan? Kapan mulai berhadapan dengan akar permasalahan yang sebenarnya dan berhenti untuk mencari kambing hitam?
Video Game Enggak Selalu Buat Anak-Anak

Maka untuk terakhir kalinya dan tidak akan pernah lelah gua sampaikan, sudah saatnya memang wahai orang-orang awam non-gamer untuk memandang video game enggak bedanya sama film (mengingat kayaknya ini konten multimedia yang semua orang pada ngerti). Enggak semua video game itu diciptakan buat anak-anak. Pandangan bahwa “video game itu permainan anak-anak” adalah sesuatu yang udah basi sejak 20 tahun yang lalu mungkin. Perusahaan video game yang pertama kali merangkak naik via NES ikut “menua” bersama dengan basis komunitasnya. Hasilnya? Banyak video game sekarang diracik untuk mengarah ke usia dewasa, sembari berubah fungsi jadi media artistik yang kagak lagi sekedar buat fun, tetapi juga untuk bercerita dan menggugah rasa.
Video game selalu punya yang namanya badan rating umur untuk ngebantu orang tua nyeleksi sendiri kira-kira game apa aja yang boleh dimainin sama si anak. Game Online biasanya kagak ber-rating karena kontennya sendiri kagak bisa diprediksi, terutama karena ia biasanya nawarin sisi interaksi dengan player yang lain di sono. Lu bisa aja mainin game Hello Kitty super damai tanpa kekerasan sama sekali. Tapi kalau udah masuk ke ranah online, gak ada yang bisa ngendaliin kalau tiba-tiba ada user lain yang ternyata orang dewasa, tiba-tiba masuk ke game yang sama, dan bacaiin cerita stensilan seksual ke telinga anak-anak. Makanya, pengawasan orang tua itu memang harus lebih ketat ketika ngomongin game online. Harus ngomong jujur, tiap kali gua denger orang tua ngeluh soal game penuh kekerasan dimainin anak-anak, gua langsung ngelihat lu sama dengan kasus orang tua tolol yang bawa anaknya nonton Deadpool terus teriak-teriak masalah “Gore”. Lu ada di golongan ketololan yang sama.
Sementara untuk para pemangku posisi pemerintahan dan organisasi massa yang isinya kebanyakan non-gamer, mari berhenti berbicara soal video game seolah-olah lu ngerti apa yang berusaha lu bicaraiin ataupun putusin, sampai proses pembelajaran dan penelitian lebih lanjut dilakuin. Karena terlepas dari fakta kalau keputusan lu enggak akan berpengaruh banyak pada hobi gamng banyak orang, keputusan yang terburu-buru tanpa pemahaman lebih lanjut tetap akan “mencederai” pandangan orang awam yang di awal, udah dimunculin salah paham. Berhenti menjadikan video game sebagai kambing hitam dan mulai ngelihat “akar masalah” sebenarnya. Mau sampai kapan begini terus?