Review Concrete Genie: Memahami Bullying!
VR yang Menarik

Selain mode utama yang meminta Anda untuk berperan sebagai Ash yang berusaha menyelamatkan Denska, Concrete Genie juga menyediakan konten khusus untuk gamer yang kebetulan sudah memiliki Playstation VR. Alih-alih terasa seperti sebuah tambahan konten yang “dipaksakan” dan terasa setengah hati, PixelOpus menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda di sini.
Di beberapa level awal, mode VR yang meminta Anda untuk menggunakan dua kontroler Playstation Move ini memang terasa “garing”. Anda seperti tengah memainkan cerita utama Concrete Genie dengan semata-mata mengendalikan Ash dari kacamata orang pertama. Tangan kiri Anda memuat buku artwork dengan pula yang bisa Anda racik, sementara tangan kanan memegang kuas yang menggunakan tombol Trigger PS Move untuk memunculkan beragam pola yang sudah Anda pilih sebelumnya. Secara garis besar, ia terasa tidak berbeda dengan apa yang Anda temukan di mode utama.


Namun segala sesuatunya berubah menjadi jauh lebih menarik ketika di satu sisi cerita mode VR ini, lingkungan gambar interaktif yang bisa Anda mainkan berubah menjadi ruang tiga dimensi! Benar sekali, tidak lagi sekedar kanvas dua dimensi, Anda kini bisa menggambar secara tiga dimensi. Pola-pola yang di mode utama yang berlaku tak ubahnya sebuah sticker yang Anda sematkan begitu saja kini punya model tiga dimensi yang akan tumbuh dan muncul dimanapun Anda ingin meletakkannya. Mode yang satu ini memang menawarkan pengalaman Concrete Genie yang berbeda.
https://www.facebook.com/pladidus/videos/10217981628706598/
Kerennya lagi? Apa yang Anda letakkan di kanvas tiga dimensi ini juga akan berpengaruh langsung pada lingkungan sekitar. Bergantung apakah Anda meletakkan bulan atau matahari di atas langit misalnya, Anda akan menemukan pergantian siang dan malam secara instan. Anda juga bisa membuat angin bertiup untuk tidak hanya membuat rumput bergerak saja, tetapi juga biji bunga dandelion yang sudah Anda tanam, berterbangan. Anda juga akan ditemani oleh satu genie yang akan menjadi pemicu progress cerita, dimana ia biasanya menuntut Anda untuk melakukan sesuatu yang spesifik.


Dengan kehadiran mode tiga dimensi yang juga menawarkan sistem Free Painting dimana Anda bisa menggambar dengan lebih bebas di akhir tanpa harus menyelesaikan misi dari sang Genie, ada keasyikan tersendiri memanipulasi dunia yang sepertinya berada di ujung kuas Anda ini. Saat mencicipinya, sulit untuk mengesampingkan kesan bahwa mode Free Painting di dunia 3D ini akan jadi salah satu mode favorit untuk gamer anak-anak yang mungkin tertarik menjajal Concrete Genie. Berkreasi sebebas mungkin, ditemani Genie imut, lengkap dengan akurasi gerak PS Move dan pola yang berpengaruh pada dunia 3D yang sama, anak-anak akan mencintai mode yang satu ini. Bagi Anda dan kami yang sudah dewasa, keasyikannya akan bergantung pada seberapa banyak porsi energi kreatif yang belum tersalurkan.
Memahami Bullying

Bullying adalah sebuah masalah klasik yang bisa terjadi pada siapa saja, tanpa alasan yang rasional, dan berakhir meninggalkan luka dan trauma yang sulit untuk diabaikan begitu saja. Berita buruknya? Banyak dari pelaku yang merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak lebih dari sekedar bersenang-senang dan bersenda gurau belaka, tanpa ada intensi untuk melakukan sesuatu yang sifatnya destruktif. Yang berusaha dilakukan oleh Concrete Genie di sini adalah memberikan sebuah kacamata perspektif yang lebih luas untuk melihat masalah yang satu ini dengan pendekatan cerita dan dunia magis interaktif yang mungkin, terasa tak punya banyak hubungan. Sesuatu yang cukup untuk menggelitik mindset kami, yang harus kami akui, cukup keliru di awal.
Mari berbicara soal bullying terlebih dahulu. Salah satu pertanyaan terbesar yang mungkin muncul di benak Anda: apa yang membuatnya berbeda dengan “sekedar bercanda”? Ada dua indikator yang bisa digunakan untuk mengkategorikan apakah sebuah aksi disebut bullying atau tidak. Pertama, reaksi dari target lelucon itu sendiri. Jika Anda bercanda, subjek yang Anda jadikan sebagai bahan bercanda tertawa dan merasa nyaman dengannya, maka “bercanda” di sini masih masuk dalam kategori sekedar bersenda gurau belaka. Namun jika situasi sebaliknya terjadi, dimana “lelucon” Anda justru membuat target lelucon Anda bersedih dan tidak nyaman, maka kalimat yang Anda lontarkan bukan lagi lelucon. Sebuah “canda” butuh dua pihak – yang melemparkan lelucon dan yang menjadi subjek lelucon secara sadar menerima dan menikmati lelucon tersebut.
Kedua? Target spesifik. Jika target bercanda Anda dan kelompok Anda selalu mengarah dan menyerang satu orang saja, berulang dan berulang kali, maka Anda mulai harus memeriksa bahwa apakah aksi yang Anda lakukan ini memang sudah mulai masuk ke dalam kategori bullying atau tidak. Karena seharusnya, jika segala sesuatunya dilakukan atas nama bersenang-senang atau mengundang gelak tawa, tidak seharusnya lelucon harus berakhir dengan target spesifik yang itu-itu saja. Lelucon, sesarkastik apapun itu, seharusnya dibagi rata ke semua orang di dalam kelompok, dimana semuanya mendapatkan porsi “serangan” yang sama. Jika Anda dan kelompok Anda hanya “bercanda” dengan satu orang saja? Mungkin, itu bukan lagi sekedar bercanda.
Bahkan dengan pengetahuan ini, Concrete Genie masih berhasil menampar salah satu mindset kami yang masih keliru terkait bullying. Bahwa sang korban bullying, satu dan lain hal, memperlihatkan sebuah set kepribadian atau tingkah laku yang mungkin memicunya menjadi target. Maka ketika Concrete Genie mengemuka dalam bentuk trailer dan screenshot dengan kata kunci bullying sebagai tema utama, kami sempat berpikir bahwa ada sesuatu pada diri Ash yang membuatnya berakhir di-bully. Bahwa ia pasti punya masa lalu tertentu, pernah melakukan sesuatu hal yang spesifik, atau sekedar bergaul dengan kelompok yang salah. Ketika mencicipi game yang satu ini, kami baru menyadari, bahwa ini adalah mindset yang toxic.


Karena semakin dalam Anda meyelam, semakin Anda mengerti dan memahami bahwa Ash sama sekali tidak bermasalah. Ia adalah anak normal yang dibesarkan di atas keluarga bahagia dan harmonis, yang kebetulan senang menggambar. Ia tidak punya konflik dengan orang lain, ia bersikap layaknya anak seumurannya, ia menjalani kehidupannya dengan biasa-biasa saja. Seperti halnya bullying di dunia nyata dan kombinasi mindset kami yang salah, Ash merepresentasikan korban bullying yang seringkali datang dari anak atau remaja yang berusaha menjalankan hidupnya sebaik dan sesenang mungkin, mengeksplorasi hobi dan jati diri. Bahwa sialnya, untuk alasan yang tidak jelas, sekelompok bully menjadikannya sebagai target yang lantas mengubah kehidupannya yang normal menjadi “neraka”. Neraka yang bisa meninggalkan bekas-bekas trauma hingga ia dewasa.
Sementara di sisi lain, Concrete Genie juga berusaha mengeksplorasi motivasi bullying dari kacamata anak-anak nakal yang berusaha merebut dan menghancurkan kuas milik Ash di sepanjang permainan. Dengan cut-scene pendek yang memberikan intipan soal latar belakang cerita masing-masing dari mereka, Anda mulai memahami bahwa mereka juga adalah “produk” dari sebuah masalah super kompleks dan besar yang tidak bisa mereka rasionalisasi. Bahwa yang tersisa hanyalah sebuah perasaan tidak menyenangkan yang butuh pelampiasan, yang kemudian diarahkan kepada Ash. Mereka datang dari keluarga yang selalu bertengkar, bercerai dengan tidak baik, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Ini adalah sebuah rantai kekerasaan dan pengabaian yang muncul dari orang dewasa, yang kemudian turun tidak terkendali ke anak yang belum cukup dewasa untuk memroses dan memahami, dan kemudian disalurkan ke anak lain yang harus bertarung di “neraka” yang tidak pernah ia antisipasi.


Pesan Concrete Genie yang terhitung “berat” dengan Desnka sebagai latar belakang ini membuatnya terasa seperti sebuah video game yang tidak hanya bisa dimainkan untuk bersenang-senang saja, tetapi juga media terapi dan ekspresi yang menarik untuk anak pelaku bullying dan anak yang menrima bullying. Bahwa dengan kisah yang ia tawarkan dan gameplay yang ia usung, bisa saja anak lebih memahami apa yang sebenarnya terjadi, lengkap dengan pesan moral di akhir. Bahwa bagi sang pelaku, ini adalah ekspresi rasa frustrasi yang menyeruak liar dalam tali sosial. Sementara bagi sang korban, kesalahan tidak pernah ada di mereka. Ada alasannya mengapa mereka disebut sebagai “korban”.