Review Xenoblade Chronicles – Definitive Edition: Dunia di Ujung Pedang!
Kini dengan Rasa Anime
Walaupun ini menjadi pengalaman pertama kami menjajal Xenoblade Chronicles, namun dengan popularitasnya sebagai game JRPG di era Wii dulu, tidak sulit untuk menemukan video gameplay seri originalnya dan melihat perubahan apa saja yang ditawarkan oleh Definitive Edition ini. Yang paling signifikan tentu saja mengakar pada perubahan model karakter, terutama untuk desain wajah.
Seolah ingin sejalan dengan pendekatan artistik di seri Chronicles X dan Chronicles 2 yang memang dilepas setelahnya, para karakter kini “diperbaharui” dengan pendekatan anime yang lebih kental. Sementara di seri originalnya, tekstur resolusi rendah yang dijadikan pondasi untuk melukis ekspresi wajah memang lebih terasa seperti apa yang ditawarkan Square Enix untuk Vagrant Story. Walaupun pendekatan anime ini membuatnya lebih tajam, namun akan sangat bisa dimengerti jika ia tidak sejalan dengan selera beberapa gamer.
Peningkatan visualisasi tajam yang diusung XC: DE ini memang paling kentara ketika Anda menikmati ragam cut-scene sinematik yang ia usung untuk menyajikan cerita. Di momen seperti ini, melihat model karakter dan senjata mereka dari jarak dekat, Anda yang memainkannya dalam mode dock ataupun handheld akan bisa melihat cita rasa presentasi yang lebih “modern”. Namun ketika masuk in-game? Resolusi yang terhitung rendah untuk standar saat ini masih menyisakan masalah tertentu, apalagi jika Anda mencicipinya di televisi 4K, misalnya. Aksi eksplorasi di banyak lokasi, apalagi jika diikuti dengan pertarungan intens melawan banyak musuh, akan menghasilkan visual dengan banyak jaggies. Namun setidaknya, untuk urusan framerate di mode docked, ia hadir stabil.
Sebagai gamer yang tidak pernah mencicipi seri originalnya dan tidak punya banyak pengetahuan soal peningkatan QOL seperti apa yang ia usung, kami bisa menyebut bahwa apapun yang sudah disempurnakan oleh Monolith Soft untuk XC: DE berhasil membuatnya tampil sebagai game JRPG yang nyaman untuk dicicipi. Waktu loading yang terhitung singkat saat Anda melakukan fast-travel, indikator untuk memberikan informasi tata letak side-quest dan lokasi solusinya, item kosmetik yang juga diproyeksikan dalam tampilan karakter, hingga fitur tambahan bernama Event Theater yang memungkinkan Anda untuk menikmati kembali cut-scene epiknya dengan modifikasi ragam elemen seperti waktu, cuaca, dan pakaian ditawarkan oleh seri yang satu ini. Di luar permasalahan jaggies yang kami bahas sebelumnya, seri yang seharusnya sudah “tua” ini memang terasa lebih menyegarkan.
Sementara dari sisi audio, tangan dingin Monolith Soft datang dengan proses remaster untuk sebagian besar OST yang diusung di sini. Karena kami pada dasarnya tidak punya bahan perbandingan dengan OST original yang juga tetap bisa Anda pilih di sini, kami tidak ragu untuk menyebut bahwa kami menyukai musik pengiring di puluhan jam petualangan kami yang berberapa di antaranya bahkan tak sulit untuk membuat bulu kuduk merinding saat dipadupadankan dengan cut-scene yang ia usung. Untuk sisi voice-acting, memang masih butuh membiasakan diri untuk aksen Eropa yang kental jika Anda memilih untuk menggunakan VA bahasa Inggris untuknya. Namun seiring dengan waktu, Anda akan terbiasa dan menikmatinya. Tetapi selalu ada opsi untuk berganti ke VA Jepang, jika Anda memang lebih nyaman dengannya.
Maka dari sisi presentasi, XC: DE memang mendapatkan perlakuan yang sepantasnya untuk tampil segar di era gaming modern saat ini. Ada beberapa hal yang mungkin memecah opini gamer, terutama dari cita rasa visual karakter yang kini memang lebih mengarah ke sisi anime daripada seri originalnya. Namun dengan kombinasi peningkatan tekstur yang juga terasa di lingkungan yang Anda temukan serta OST yang keren, proyek remaster ini membawa angin segar dan alasan ekstra untuk mencicipi game JRPG yang digadang sebagai salah satu yang terbaik ini.
Dunia di Ujung Pedang
Sebagai seri pertama yang membangun basis untuk semua seri Xenoblade Chronicles setelahnya, gamer yang terjun terlebih dahulu ke seri X dan Xenoblade 2 seperti halnya kami sepertinya tidak akan sulit untuk menguasai mekanik gameplay dasar yang ia tawarkan karena ia memang familiar. Ada kebebasan gerak pada saat bertarung, namun secara pondasi, ia lebih terasa seperti sebuah game turn-based. Kesempatan untuk menggerakkan karakter lebih diarahkan untuk mencari posisi serang yang lebih strategis, mengingat beberapa jenis skill memang menawarkan damage lebih tinggi jika dieksekusi dari posisi tertentu, seperti serangan dari belakang musuh misalnya. Sayangnya, Anda tidak bisa menggunakan gerak ini untuk menghindari hitbox serangan musuh, ala game action misalnya.
Sisanya adalah memanfatkan sebagai mungkin skill yang dimiliki oleh masing-masing karakter. Setiap karakter akan memilih cukup skill berbasis cooldown yang bisa dimanfaatkan untuk beragam fungsi, dari menghasilkan damage, menghasilkan debuff, menjatuhkan musuh ke dalam status stun (break, topple, dan daze), hingga yang tentu saja – menyembuhkan. Namun mengingat skill-skill ini akan terikat pada karakter yang berbeda-beda, maka pekerjaan Anda yang lain adalah meracik komposisi tim yang sesuai dengan gaya bermain Anda. Skill ini juga mau tidak mau harus menghasilkan implikasi bahwa beberapa karakter memang lebih cocok dimainkan dalam peran tertentu. Sebagai contoh? Sharla. Mengingat sebagian besar skill-nya adalah healing, maka ia tampil bak karakter support. Sementara Dunban dengan kemampuan aggro-nya? Tentu saja, tanker.
Dengan gameplay yang sangat mengandalkan komposisi tim, sayangnya proyek remaster XC: DE ini sepertinya masih menyisakan “relik” masa lampau yang membuat petempuran menjadi tidak sebaik yang dibayangkan. Masalah terbesar mengakar pada dua hal: tidak ada sistem pergantian karakter secara real-time saat bertarung dan juga AI yang tidak seberapa adaptif pada situasi pertempuran. Tidak adanya sistem pergantian seperti ini tentu membuat Anda mau tidak mau harus memilih keputusan rasional untuk mengendalikan karakter support alih-alih tank atau assault, untuk menjaga party tetap hidup. Ini juga muncul sebagai konsekuensi dari fakta bahwa AI yang ia tawarkan tidak akan cukup reaktif terhadap situasi pertarungan dan mengambil keputusan terbaik untuknya. Memainkan karakter Tank atau Assault berarti membiarkan nasib party Anda, terutama di pertarungan sulit, berada di tangan AI support yang aksi healing-nya seringkali berada di timing yang salah.
“Kebodohan” AI ini juga semakin tercermin ketika Anda berhadapan dengan lingkungan yang juga menawarkan ekstra ancaman yang bisa melukai Anda pada saat eksplorasi. Seberapa tidak adaptif-nya AI ini? Kami sempat bertemu dengan situasi dimana target yang hendak kami bunuh adalah sebuah bola elemen yang melayang di atas sebuah danau lava, yang seperti bisa Anda prediksi, akan melukai Anda jika Anda terjun masuk di dalamnya. Alih-alih melakukan aggro dan membiarkan bola elemen ini datang ke daratan yang aman, karakter Assault dan Tank kami memutuskan untuk mengejar dan berusaha membunuh musuh ini di dalam danau lava, sembari “menelan” damage dari danau lava dan serangan dari musuh itu sendiri. Sebagai Sharla yang punya limitasi cooldown untuk ragam skill healing-nya, kami ingin berteriak frustrasi di situasi seperti ini.
Kelemahan AI ini juga terpancar kuat ketika Anda bertarung bersama dengan Shulk, yang eksistensinya Manado-nya tidak hanya penting untuk cerita saja tetapi juga untuk gameplay itu sendiri. Sebagai pedang yang mampu menghancurkan dunia, Anda butuh Manado milik Shulk di awal-awal permainan untuk menundukkan musuh mekanik dari Mechonis yang tidak akan bisa dilukai dengan senjata yang lain. Monado juga diperkuat dengan ragam Monado Skills lain yang punya efek penting, termasuk “Shield” dan “Speed” yang bisa melindungi Party Anda dari serangan spesial musuh ber-damage besar. Berita buruknya? Benar sekali, AI Shulk tidak cukup cerdas untuk mengeksekusi sendiri skill Monado secara otomatis ketika momen ini tiba. Anda harus mendekatkan karakter Anda ke Shulk dan menginstruksikan hal ini secara manual setiap kali hal ini terjadi.
Untungnya, selain sistem Skill berbasis cooldown yang menjadi basis, pertarungan juga akan diperkuat dengan sebuah bar khusus bernama Party Gauge dengan jumlah maksimal 3 bar. Setiap bar yang terkumpul dari aksi yang Anda ambil di pertempuran, dari menyerang hingga mengeksekusi debuff, akan bisa digunakan untuk hal-hal yang memperkuat party Anda. Anda bisa menggunakannya untuk memerintahkan anggota party lain untuk mengambil aksi tertentu, yang biasanya tidak akan terpengaruh apakah skill tersebut berada dalam status cooldown atau tidak. Gauge yang sama juga bisa digunakan untuk melakukan revive anggota yang tewas di pertarungan. Namun pada akhirnya, mengumpulkan 3 bar Gauge ini secara penuh akan memungkinkan Anda mengeksekusi serangan istimewa bernama “Chain Attack” yang bergantung pada level kedekatan anggota antar party, akan memungkinkan Anda mengeksekusi serangan panjang sembari menikmati efek-efek debuff yang mungkin bisa dihasilkan.
Level kedekatan ini bisa dibilang menjadi salah satu elemen terbaik dan terunik yang ditawarkan oleh XC di seri original dan kembali di XC: DE ini. Secara sederhana, semakin sering Anda mengelompokkan anggota tertentu dalam satu party, semakin tinggi pula level kedekatan mereka. Level kedekatan akan mempengaruhi seberapa panjang secara Chain Attack yang bisa Anda eksekusi dan elemen lain bernama “Skill Tree”.
Anda bisa melihatnya sebagai sejenis buff permanen yang bisa diemban tiap karakter yang terbagi ke dalam tiga kategori terpisah. Selain memasang skill pribadi mereka masing-masing, tiap karakter juga bisa “menggunakan” skill karakter yang lain untuk ekstra keuntungan. Seperti yang bisa diprediksi, jumlah skill yang bisa mereka adopsi dari karakter lain akan bergantung pada seberapa tinggi level kedekatan mereka. Level kedekatan juga akan mempengaruhi aksi crafting Gem untuk menambahkan efek tertentu pada senjata, dimana potensi untuk meracik Gem lebih kuat bergantung pada level yang sama. Sistem yang lain? Anda juga bisa bertemu dengan beberapa point eksplorasi yang menawarkan interaksi dua karakter untuk cerita sampingan begitu level kedekatan mereka cukup.
Maka seperti sebagian besar game JRPG saat ini, ia juga menyediakan misi sampingan untuk Anda selesaikan di luar cerita utama. Jumlah misi sampingan di XC: DE memang tidak main-main, dengan ratusan hingga ribuan tersedia selama sesi permianan Anda. Sebagian besar datang dengan format yang sederhana dan tidak mempersulit Anda, dimana Anda diminta untuk mengumpulkan item atau menundukkan musuh dalam jumlah tertentu dengan reward yang akan didapatkan secara “otomatis” begitu Anda berhasil menyelesaikannya. Misi ini biasanya memberikan reward sekadar uang yang bisa Anda gunakan untuk belanja. Anda juga akan bertemu dengan sesi misi sampingan lain yang punya sedikit porsi cerita, biasanya berakhir dengan desain serupa, namun menuntut Anda untuk kembali melaporkannya ke NPC terkait. Misi sampingan seperti ini biasanya juga akan memberikan Anda EXP untuk kenaikan level dan bukan sekadar uang saja.
Bersama dengan misi-misi sampingan yang pelan tapi pasti, akan mulai Anda abaikan ceritanya dan hanya ingin Anda selesaikan dengan cepat dengan memenuhi kebutuhan yang ada, ada pula beberapa “misi sampingan” yang lebih serius. Ada misi sampingan yang misalnya, akan memberikan Anda kunci untuk menjelajahi dunia XC: DE dengan lebih baik yang juga diikuti dengan pertarungan melawan boss rahasia. Ada pula yang meminta Anda untuk membangun ulang – Colony 6, sebuah area luluh lantak yang butuh dua hal – material dan uang untuk “bangkit kembali”. Terbagi ke dalam beberapa kategori – dari permukiman hingga Shop, aksi membangun Colony 6 ini biasanya menawarkan reward sepadan, terutama untuk urusan Gem “berharga” yang bisa Anda pasangkan di senjata atau armor Anda. Namun sayangnya, aksi bangun ulang Colony 6 ini kembali membuka rasa frustrasi untuk elemen lain XC: DE yang menjengkelkan.
Bahwa seperti seri originalnya, ia menawarkan begitu banyak item material yang tidak kesemuanya menawarkan fungsi tertentu dan hanya berakhir jadi “rongsokan” untuk dijual di toko terdekat. Permasalahannya? Item yang Anda dapatkan dari proses eksplorasi ataupun saat bertarung melawan musuh, jatuh dalam tingkat kelangkaan yang kesemuanya berakhir acak. Beberapa bahkan juga terpengaruh oleh kondisi cuaca yang tidak bisa Anda kendalikan. Ini membuat semua aksi yang butuh Anda untuk mengumpulkan item langka dalam jumlah tertentu, baik untuk Colony 6 ataupun untuk misi sampingan, kini berdasarkan pada elemen yang tidak bisa Anda atur – Keberuntungan. Terkadang Anda harus bolak-balik satu lokasi tertentu dan berharap bahwa salah satu item yang Anda kumpulkan memang apa yang Anda butuhkan. Di kasus Colony 6, dengan requirement yang semakin kompleks, ini justru kian memberikan highlight untuk sebuah desain game JRPG yang terasa “kuno”.