Review Star Ocean – The Divine Force: Bukan Melesat, Malah Meleset!
Meleset

Maka dari diskusi yang sudah kita bicarakan sebelumnya, jelas bahwa Star Ocean: The Divine Force bukanlah game JRPG yang sempurna. Dari masalah Anda tidak bisa mempercepat dialog yang membuat petualangan bisa berujung terasa bertele-tele apalagi dengan kecepatan bicara VA yang lambat sampai sistem AI yang tak bisa diandalkan terutama untuk healer, memang terkadang berujung membuat rasa frustrasi mengemuka. Walaupun demikian, bukan berarti ia tak punya daya tarik memesona seperti sistem pertarungan berbasis D.U.M.A dengan aksi terbang yang belum pernah kami temui di game JRPG manapun.
Sebagai gamer yang mengharapkan sebuah sensasi Star Ocean lawas yang solid, apa yang ditawarkan The Divine Force memang harus diakui “meleset” alih-alih melesat melewati bintang-bintang. Salah satu yang paling mengecewakan tentu saja tidak seimbangnya porsi eksplorasi antara peradaban kuno dan modern yang juga sempat kami bicarakan sebelumnya. Porsi peradaban modern yang ditawarkan di seri ini seolah-olah didesain untuk sekadar mendorong cerita lebih jauh menuju ke konklusi yang dibutuhkan. Ia diisi dengan lebih banyak dialog yang berperan sebagai eksposisi untuk menjelaskan apa yang terjadi alih-alih memamerkannya via animasi, di tengah dunia dengan arstitektur yang terlihat terlalu klise dan terbatas. Ada mimpi untuk melihatnya diposisikan sebagai peradaban yang sama pentingnya dengan Aster IV, dimana ia memuat begitu banyak kota, karakter, dan porsi cerita yang sama.


Salah satu sistem yang menurut kami berujung “meleset” juga datang dari sistem crafting yang ia tawarkan, yang notebene esensial jika Anda ingin menyelesaikan konten end-game hingga rampung. Apa pasal? Pertama, sistem crafting ini hadir sebagai reward untuk misi sampingan yang bisa Anda lewatkan. Jika Anda hanya ingin memainkan cerita utama saja tanpa memperdulikan misi-misi sampingan yang ada, fitur ini akan terkunci sampai Anda bertemu dengan karakter yang seharusnya di salah satu kota. Sistem crafting ini juga akan terbagi ke dalam beragam kategori berbeda yang akan terbuka satu per satu seiring dengan misi sampingan yang berhasil Anda selesaikan dengan si karakter.
Masalah kedua? Sistem crafting ini tidak seperti kebanyakan game JRPG dimana Anda akan punya kejelasan dan kepastian material apa saja yang butuh dikumpulkan untuk meracik senjata, armor, atau aksesoris tertentu. Di Star Ocean: The Divine Force, mereka memutuskan untuk meleburnya dengan dua kata paling menyeramkan di game JRPG manapun – Grinding dan Gacha.
Grinding karena setiap karakter akan punya sistem level untuk setiap kategori crafting yang tersedia, yang akan naik jika Anda menggunakan mereka untuk melakukan aksi crafting tersebut. Sebagai contoh? Level Elena untuk blacksmithing akan berbeda saat ia melakukan engineering, dengan maksimal level 10. Ini berarti jika Anda ingin memaksimalkan level kedua kategori ini hingga maksimal atas nama konsisten hasil yang didapatkan, Anda harus sering-sering melakukan aksi crafting yang ada. Ingat, ini hanya untuk satu karakter saja.


Belum cukup? Setiap proses crafting akan membutuhkan dua hal pula – material dan uang. Mengingat Anda tidak selalu mendapatkan apa yang Anda dapatkan dari material langka, ini berarti Anda harus secara konsisten mencari atau membelinya dari merchant khusus di akhir game. Masih belum cukup? Proses crafting juga akan menuntut sejumlah uang baik untuk aksi beli material ataupun untuk crafting itu sendiri. Semakin langka, semakin besar pula uang yang perlu Anda gelontorkan. Ini berarti Anda akan secara konsisten terus berusaha mencari resource, bahkan hanya untuk aksi crafting “iseng” atas nama meningkatkan level crafting 1 karakter saja.
Bagian kedua yang lebih buruk? Benar sekali, Gacha. Tak seperti kebanyakan game JRPG dimana material sudah ditentukan spesifik untuk melahirkan item dan equipment yang dibutuhkan, item yang Anda hasilkan dari setiap proses crafting di tiap kategori bisa berujung acak, baik ketika ia berhasil ataupun gagal. Anda tidak akan pernah tahu akan menjadi ia berujung, walaupun beberapa material akan memiliki chance besar untuk melahirkan item spesifik. Proses “gacha” juga terjadi di buff dan status equipment yang dihasilkan, yang tentu akan berkontribusi besar pada efektivitas karakter Anda. Anda terkadang bisa mendapatkan equipment yang Anda inginkan tetapi bisa jadi, tidak memuat buff yang tengah Anda butuhkan.
Maka dengan semua sistem yang ia tawarkan saat ini, Star Ocean: The Divine Force benar-benar menuntut waktu dan komitmen Anda untuk setidaknya bisa sedikit melenggang dengan lebih bebas untuk menundukkan konten end-game yang ia tawarkan. Konten yang harus kami akui, berujung kami lewatkan karena keterbatasan waktu dan rasa frustrasi yang mendominasi ketika membayangkan seberapa panjang dan berat perjalanan yang harus dilalui.
Kesimpulan

Ada dua kesan kuat yang akan Anda temui ketika memainkan Star Ocean: The Divine Force sejak menit pertama. Pertama, tentu saja ada usaha keras yang jelas dari tri-Ace untuk tidak hanya membuat seri ini terasa berbeda saja tetapi juga modern di saat yang sama. Namun di sisi yang lain, ada kesan yang kuat bahwa pada akhirnya ia tetap diposisikan sebagai satu dari banyak proyek JRPG dari Square Enix yang ditempatkan dengan budget rendah. Budget yang kami curigai menjadi alasan tidak berimbangnya konten antara peradaban kuno dan modern yang ia usung, yang seharusnya menjadi salah satu daya tarik utama franchise ini. Namun setidaknya dengan aksi terbang yang ditenagai oleh D.U.M.A dan ragam efeknya baik untuk proses eksplorasi ataupun bertarung cukup untuk membuat seri ini unik dan tetap bisa dinikmati.
Di luar keluhan soal dikesampingkannya lagi peradaban modern yang tak banyak mendapatkan fokus terlepas dari potensi daya tariknya yang tinggi, Star Ocean: The Divine Force memang datang dengan beberapa desain yang di preferensi pribadi kami, berujung mencederai pengalaman yang ada. Dialog yang lambat dikombinasikan dengan fakta bahwa sebagian besar darinya tampil bak cut-scene yang tak memungkinkan Anda mempercepatnya jadi resep mimpi buruk untuk rasa lelah menunggu dan kantuk. Apalagi visual game ini tak memungkinkan model karakter untuk mengekspresikan emosi dengan tepat, yang diperparah dengan situasi dimana skenario yang lebih banyak terjadi hanyalah karakter-karakter yang berdiri dan saling berbicara. Sementara dari sisi gameplay, AI yang tak terlalu cerdas terutama saat bertarung seringkali menimbulkan rasa frustrasi tersendiri.
Dengan kondisinya saat ini, kami sendiri tidak melihat Star Ocean: The Divine Force sebagai game JRPG yang mendesak untuk Anda cicipi secepatnya. Anda bisa meliriknya ketika ia mendapatkan diskon besar-besaran di masa depan sembari menunggu update besar dari tri-Ace dan Square Enix untuk membenahi hal-hal yang memang bisa disempurnakan, seperti sifat kerja AI saat bertarung misalnya. Pada akhirnya, alih-alih melesat, ini jadi seri yang di mata kami justru, meleset.
Kelebihan

Sistem dua karakter dengan ekstra konten berbeda di dalamnya
Desain kota di Aster IV terlihat megah
Elena
Sistem bertarung berbasis D.U.M.A terasa unik
Tiap karakter memiliki role yang cukup spesifik
Cerita hadir cukup kompleks dengan ekstra kejutan
OST yang menjalankan tugasnya dengan baik
Kekurangan

Dialog tidak bisa dipercepat, hanya bisa dilewatkan secara keseluruhan
AI tak bisa diandalkan, terutama Nina sebagai healer
Porsi peradaban kuno dan modern tidak terasa berimbang
Tak banyak cut-scene yang menarik atau dramatis
Sistem crafting yang grindy
Cocok untuk gamer: yang menginginkan game JRPG dengan sistem unik, tak berkeberatan dengan pendekatan baru Star Ocean selama beberapa seri terakhir
Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan game RPG yang menggugah, yang menginginkan karakter yang terasa dan terlihat lebih ekspresif