Review Star Ocean – The Divine Force: Bukan Melesat, Malah Meleset!

Reading time:
December 8, 2022

Meleset

Star Ocean The Divine Force jagatplay 129
Alih-alih melesat, pengalamannya terasa meleset.

Maka dari diskusi yang sudah kita bicarakan sebelumnya, jelas bahwa Star Ocean: The Divine Force bukanlah game JRPG yang sempurna. Dari masalah Anda tidak bisa mempercepat dialog yang membuat petualangan bisa berujung terasa bertele-tele apalagi dengan kecepatan bicara VA yang lambat sampai sistem AI yang tak bisa diandalkan terutama untuk healer, memang terkadang berujung membuat rasa frustrasi mengemuka. Walaupun demikian, bukan berarti ia tak punya daya tarik memesona seperti sistem pertarungan berbasis D.U.M.A dengan aksi terbang yang belum pernah kami temui di game JRPG manapun.

Sebagai gamer yang mengharapkan sebuah sensasi Star Ocean lawas yang solid, apa yang ditawarkan The Divine Force memang harus diakui “meleset” alih-alih melesat melewati bintang-bintang. Salah satu yang paling mengecewakan tentu saja tidak seimbangnya porsi eksplorasi antara peradaban kuno dan modern yang juga sempat kami bicarakan sebelumnya. Porsi peradaban modern yang ditawarkan di seri ini seolah-olah didesain untuk sekadar mendorong cerita lebih jauh menuju ke konklusi yang dibutuhkan. Ia diisi dengan lebih banyak dialog yang berperan sebagai eksposisi untuk menjelaskan apa yang terjadi alih-alih memamerkannya via animasi, di tengah dunia dengan arstitektur yang terlihat terlalu klise dan terbatas. Ada mimpi untuk melihatnya diposisikan sebagai peradaban yang sama pentingnya dengan Aster IV, dimana ia memuat begitu banyak kota, karakter, dan porsi cerita yang sama.

Star Ocean The Divine Force jagatplay 92
Porsi peradaban futuristiknya tak selengkap Aster IV.
Star Ocean The Divine Force jagatplay 122
Bayangkan, Anda bisa saja malas menyelesaikan misi sampingan dan tak bertemu dengan karakter NPC ini. Membuat Anda tak bisa mengakses sistem crafting sama sekali sampai Anda menyelesaikannya.

Salah satu sistem yang menurut kami berujung “meleset” juga datang dari sistem crafting yang ia tawarkan, yang notebene esensial jika Anda ingin menyelesaikan konten end-game hingga rampung. Apa pasal? Pertama, sistem crafting ini hadir sebagai reward untuk misi sampingan yang bisa Anda lewatkan. Jika Anda hanya ingin memainkan cerita utama saja tanpa memperdulikan misi-misi sampingan yang ada, fitur ini akan terkunci sampai Anda bertemu dengan karakter yang seharusnya di salah satu kota. Sistem crafting ini juga akan terbagi ke dalam beragam kategori berbeda yang akan terbuka satu per satu seiring dengan misi sampingan yang berhasil Anda selesaikan dengan si karakter.

Masalah kedua? Sistem crafting ini tidak seperti kebanyakan game JRPG dimana Anda akan punya kejelasan dan kepastian material apa saja yang butuh dikumpulkan untuk meracik senjata, armor, atau aksesoris tertentu. Di Star Ocean: The Divine Force, mereka memutuskan untuk meleburnya dengan dua kata paling menyeramkan di game JRPG manapun – Grinding dan Gacha.

Grinding karena setiap karakter akan punya sistem level untuk setiap kategori crafting yang tersedia, yang akan naik jika Anda menggunakan mereka untuk melakukan aksi crafting tersebut. Sebagai contoh? Level Elena untuk blacksmithing akan berbeda saat ia melakukan engineering, dengan maksimal level 10. Ini berarti jika Anda ingin memaksimalkan level kedua kategori ini hingga maksimal atas nama konsisten hasil yang didapatkan, Anda harus sering-sering melakukan aksi crafting yang ada. Ingat, ini hanya untuk satu karakter saja.

Star Ocean The Divine Force jagatplay 123
Aksi racik item butuh begitu banyak resource dan waktu.
Star Ocean The Divine Force jagatplay 134
Proses grinding ini menjadi tak terhindarkan jika Anda ingin menyelesaikan konten post-game yang ia tawarkan. Sayangnya, kami tak punya kesabaran untuk itu.

Belum cukup? Setiap proses crafting akan membutuhkan dua hal pula – material dan uang. Mengingat Anda tidak selalu mendapatkan apa yang Anda dapatkan dari material langka, ini berarti Anda harus secara konsisten mencari atau membelinya dari merchant khusus di akhir game. Masih belum cukup? Proses crafting juga akan menuntut sejumlah uang baik untuk aksi beli material ataupun untuk crafting itu sendiri. Semakin langka, semakin besar pula uang yang perlu Anda gelontorkan. Ini berarti Anda akan secara konsisten terus berusaha mencari resource, bahkan hanya untuk aksi crafting “iseng” atas nama meningkatkan level crafting 1 karakter saja.

Bagian kedua yang lebih buruk? Benar sekali, Gacha. Tak seperti kebanyakan game JRPG dimana material sudah ditentukan spesifik untuk melahirkan item dan equipment yang dibutuhkan, item yang Anda hasilkan dari setiap proses crafting di tiap kategori bisa berujung acak, baik ketika ia berhasil ataupun gagal. Anda tidak akan pernah tahu akan menjadi ia berujung, walaupun beberapa material akan memiliki chance besar untuk melahirkan item spesifik. Proses “gacha” juga terjadi di buff dan status equipment yang dihasilkan, yang tentu akan berkontribusi besar pada efektivitas karakter Anda. Anda terkadang bisa mendapatkan equipment yang Anda inginkan tetapi bisa jadi, tidak memuat buff yang tengah Anda butuhkan.

Maka dengan semua sistem yang ia tawarkan saat ini, Star Ocean: The Divine Force benar-benar menuntut waktu dan komitmen Anda untuk setidaknya bisa sedikit melenggang dengan lebih bebas untuk menundukkan konten end-game yang ia tawarkan. Konten yang harus kami akui, berujung kami lewatkan karena keterbatasan waktu dan rasa frustrasi yang mendominasi ketika membayangkan seberapa panjang dan berat perjalanan yang harus dilalui.

Kesimpulan

Star Ocean The Divine Force jagatplay 132
Dengan kondisinya saat ini, kami sendiri tidak melihat Star Ocean: The Divine Force sebagai game JRPG yang mendesak untuk Anda cicipi secepatnya. Anda bisa meliriknya ketika ia mendapatkan diskon besar-besaran di masa depan sembari menunggu update besar dari tri-Ace dan Square Enix untuk membenahi hal-hal yang memang bisa disempurnakan, seperti sifat kerja AI saat bertarung misalnya. Pada akhirnya, alih-alih melesat, ini jadi seri yang di mata kami justru, meleset.

Ada dua kesan kuat yang akan Anda temui ketika memainkan Star Ocean: The Divine Force sejak menit pertama. Pertama, tentu saja ada usaha keras yang jelas dari tri-Ace untuk tidak hanya membuat seri ini terasa berbeda saja tetapi juga modern di saat yang sama. Namun di sisi yang lain, ada kesan yang kuat bahwa pada akhirnya ia tetap diposisikan sebagai satu dari banyak proyek JRPG dari Square Enix yang ditempatkan dengan budget rendah. Budget yang kami curigai menjadi alasan tidak berimbangnya konten antara peradaban kuno dan modern yang ia usung, yang seharusnya menjadi salah satu daya tarik utama franchise ini. Namun setidaknya dengan aksi terbang yang ditenagai oleh D.U.M.A dan ragam efeknya baik untuk proses eksplorasi ataupun bertarung cukup untuk membuat seri ini unik dan tetap bisa dinikmati.

Di luar keluhan soal dikesampingkannya lagi peradaban modern yang tak banyak mendapatkan fokus terlepas dari potensi daya tariknya yang tinggi, Star Ocean: The Divine Force memang datang dengan beberapa desain yang di preferensi pribadi kami, berujung mencederai pengalaman yang ada. Dialog yang lambat dikombinasikan dengan fakta bahwa sebagian besar darinya tampil bak cut-scene yang tak memungkinkan Anda mempercepatnya jadi resep mimpi buruk untuk rasa lelah menunggu dan kantuk. Apalagi visual game ini tak memungkinkan model karakter untuk mengekspresikan emosi dengan tepat, yang diperparah dengan situasi dimana skenario yang lebih banyak terjadi hanyalah karakter-karakter yang berdiri dan saling berbicara. Sementara dari sisi gameplay, AI yang tak terlalu cerdas terutama saat bertarung seringkali menimbulkan rasa frustrasi tersendiri.

Dengan kondisinya saat ini, kami sendiri tidak melihat Star Ocean: The Divine Force sebagai game JRPG yang mendesak untuk Anda cicipi secepatnya. Anda bisa meliriknya ketika ia mendapatkan diskon besar-besaran di masa depan sembari menunggu update besar dari tri-Ace dan Square Enix untuk membenahi hal-hal yang memang bisa disempurnakan, seperti sifat kerja AI saat bertarung misalnya. Pada akhirnya, alih-alih melesat, ini jadi seri yang di mata kami justru, meleset.

 

Kelebihan

Star Ocean The Divine Force jagatplay 69
Elena….

Sistem dua karakter dengan ekstra konten berbeda di dalamnya

Desain kota di Aster IV terlihat megah

Elena

Sistem bertarung berbasis D.U.M.A terasa unik

Tiap karakter memiliki role yang cukup spesifik

Cerita hadir cukup kompleks dengan ekstra kejutan

OST yang menjalankan tugasnya dengan baik

 

Kekurangan

Star Ocean The Divine Force jagatplay 70
Cerita punya potensi menarik jika disampaikan dengan lebih banyak animasi dan scene dramatis, alih-alih karakter yang berdiam diri dan berbicara super panjang dan lambaaatt..

Dialog tidak bisa dipercepat, hanya bisa dilewatkan secara keseluruhan

AI tak bisa diandalkan, terutama Nina sebagai healer

Porsi peradaban kuno dan modern tidak terasa berimbang

Tak banyak cut-scene yang menarik atau dramatis

Sistem crafting yang grindy

 

Cocok untuk gamer: yang menginginkan game JRPG dengan sistem unik, tak berkeberatan dengan pendekatan baru Star Ocean selama beberapa seri terakhir

Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan game RPG yang menggugah, yang menginginkan karakter yang terasa dan terlihat lebih ekspresif

Pages: 1 2 3 4
Load Comments

JP on Facebook


PC Games

June 21, 2025 - 0

Review Clair Obscur Expedition 33: RPG Turn-Based nan Indah, Seru, & Memilukan

Clair Obscur: Expedition 33 menjadi bukti akan pentingnya passion dan…
June 19, 2025 - 0

Review Monster Hunter Wilds: Keindahan Maksimal di Tengah Derasnya Adrenalin

Monster Hunter Wilds berhasil gabungkan beragam elemen terbaik dari seri…
November 29, 2024 - 0

Palworld Dan Terraria Crossover Event Akan Hadir Pada 2025

Palworld dan Terraria umumkan event crossover yang akan digelar pada…
October 29, 2024 - 0

Review Call of Duty – Black Ops 6 (SP): Ternyata Keren!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh mode campaign / single-player Call…

PlayStation

June 21, 2025 - 0

Review Clair Obscur Expedition 33: RPG Turn-Based nan Indah, Seru, & Memilukan

Clair Obscur: Expedition 33 menjadi bukti akan pentingnya passion dan…
June 19, 2025 - 0

Review Monster Hunter Wilds: Keindahan Maksimal di Tengah Derasnya Adrenalin

Monster Hunter Wilds berhasil gabungkan beragam elemen terbaik dari seri…
December 7, 2024 - 0

Preview Infinity Nikki: Game Indah Di Mana Baju Adalah Pedangmu

Kesan pertama kami setelah memainkan Infinity Nikki selama beberapa jam;…
November 15, 2024 - 0

Review LEGO Horizon Adventures: Kurang Kreatif!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh LEGO Horizon Adventures ini? Mengapa…

Nintendo

June 30, 2025 - 0

Review Nintendo Switch 2: Upgrade Terbaik Untuk Console Terlaris Nintendo

Nintendo Switch 2 merupakan upgrade positif yang telah lama ditunggu…
July 28, 2023 - 0

Review Legend of Zelda – Tears of the Kingdom: Tak Sesempurna yang Dibicarakan!

Mengapa kami menyebutnya sebagai game yang tak sesempurna yang dibicarakan…
May 19, 2023 - 0

Preview Legend of Zelda – Tears of the Kingdom: Kian Menggila dengan Logika!

Apa yang ditawarkan oleh Legend of Zelda: Tears of the…
November 2, 2022 - 0

Review Bayonetta 3: Tak Cukup Satu Tante!

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Bayonetta 3? Mengapa kami menyebutnya…